tag:blogger.com,1999:blog-44455435169013867032024-02-08T08:42:43.544-08:00Aisyah Azzahraaisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.comBlogger21125tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-39963209711056425082011-06-13T07:27:00.000-07:002011-06-13T07:27:36.707-07:00TATA CARA MANDI HAID DAN MANDI JUNUBDiringkas dari majalah As Sunah Edisi 04/Th.IV/1420-2000, oleh Ummu ‘Athiyah<br />
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar<br />
Haid adalah salah satu najis yang menghalangi wanita untuk melaksanakan ibadah sholat dan puasa (pembahasan mengenai hukum-hukum seputar haidh telah disebutkan dalam beberapa edisi yang lalu), maka setelah selesai haidh kita harus bersuci dengan cara yang lebih dikenal dengan sebutan mandi haid.<br />
<span id="more-45"></span><br />
Agar ibadah kita diterima Allah maka dalam melaksanakan salah satu ajaran islam ini, kita harus melaksanakannya sesuai tuntunan Rasulullah <em>Shallallahu ‘alaihi wa Sallam</em> dan Rasulullah telah menyebutkan tata cara mandi haid dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah <em>Radhiyallahu ‘Anha</em> bahwa Asma’ binti Syakal <em>Radhiyallahu ‘Anha</em> bertanya kepada Rasulullah <em>Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam</em> tentang mandi haidh, maka beliau bersabda:<br />
تَأْخُذُإِحْدَا كُنَّ مَائَهَا وَسِدْرَهَا فَتََطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ أوْ تَبْلِغُ فِي الطُّهُورِ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُُهُ دَلْكًا شَدِ يْدًا حَتََّى تَبْلِغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطْهُرُ بِهَا قَالَتْ أسْمَاءُ كَيْفَ أتََطَهَّرُبِهَا قَالَ سُبْحَانَ الله ِتَطَهُّرِي بِهَا قَالَتْْ عَائِشَةُ كَأنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ تَتَبَّعِي بِهَا أثَرَالدَّمِ<br />
<em>“Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya (daun pohon bidara, atau boleh juga digunakan pengganti sidr seperti: sabun dan semacamnya-pent) kemudian dia bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi, kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma’ berkata: “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah” maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’: “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kain/kapas itu).”</em><br />
Dari ‘Aisyah <em>Radhiyallahu ‘Anha</em> bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi <em>Shallallahu ‘alaihi wa Sallam</em> tentang mandi dari haid. Maka beliau memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda:<br />
تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهُّرُ بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهُّرُ بِهَاقَالَ تَطَهَّرِي بِهَاسُبْحَانَ اللهِ.قَالَتْ عَائِشَةُ وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبْعِي بِهَاأَثَرَا لدَّمِ<br />
<em>“Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya(potongan kain/kapas).”</em> (HR. Muslim: 332)<br />
An-Nawawi <em>rahimahullah</em> berkata (1/628): <em>“Jumhur ulama berkata (bekas darah) adalah farji (kemaluan).”</em> Beliau berkata (1/627): <em>“Diantara sunah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid.”</em> (Dinukil dari <em>Jami’ Ahkaam an-Nisaa’</em>: 117 juz: 1).<br />
Syaikh Mushthafa Al-’Adawy berkata: <em>“Wajib bagi wanita untuk memastikan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak.Apabila air tidak dapat sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut maka dia (wanita tersebut) menguraikannya-bukan karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib-tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya, Wallahu A’lam.”</em> (Dinukil dari <em>Jami’ Ahkaam An-Nisaa’</em> hal: 121-122 juz: 1 cet: Daar As-Sunah).<br />
Maka wajib bagi wanita apabila telah bersih dari haidh untuk mandi dengan membersihkan seluruh anggota badan; minimal dengan menyiramkan air ke seluruh badannya sampai ke pangkal rambutnya; dan yang lebih utama adalah dengan tata cara mandi yang terdapat dalam hadits Nabi <em>Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam</em>, ringkasnya sebagai berikut:<br />
<ol><li>Wanita tersebut mengambil air dan sabunnya, kemudian berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya.</li>
<li>Menyiramkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air dapat sampai pada tempat tumbuhnya rambut. Dalam hal ini tidak wajib baginya untuk menguraikan jalinan rambut kecuali apabila dengan menguraikan jalinan akan dapat membantu sampainya air ke tempat tumbuhnya rambut (kulit kepala).</li>
<li>Menyiramkan air ke badannya.</li>
<li>Mengambil secarik kain atau kapas(atau semisalnya) lalu diberi minyak wangi kasturi atau semisalnya kemudian mengusap bekas darah (farji) dengannya.</li>
</ol><strong>TATA CARA MANDI JUNUB BAGI WANITA</strong><br />
Dari ‘Aisyah <em>Radhiyallahu ‘Anha</em>, beliau berkata:<br />
كُنَّاإِذَأَصَابَتْ إِحْدَانَاجَنَابَةٌأَخَذَتْ بِيَدَيْهَاثَلَاثًافَوْقَ رَأْسَهَا ثُمَََّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَاالْأيَْمَنِ وَبِيَدِهَااْلأُخْرَى عََََلَى شِقِّهَااْلأ يْسَرِ<br />
<em>“Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri.”</em> (Hadits Shahih riwayat Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253)<br />
Seorang wanita tidak wajib menguraikan (melepaskan) jalinan rambutnya ketika mandi karena junub, berdasarkan hadits berikut:<br />
Dari Ummu Salamah <em>Radhiyallahu ‘Anha</em> berkata:<br />
قُاْتُ ياَرَسُولَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَرَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ:لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْنَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍثُمََّ تُفِيْضِيْنَ عَلَى سَائِرِ جَسَادِكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْن<br />
<em>Aku (Ummu Salamah) berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.”</em> (Hadits Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud: 251, an-Nasaai: 1/131, Tirmidzi:1/176, hadits: 105 dan dia berkata: “Hadits Hasan shahih,” Ibnu Majah: 603)<br />
Ringkasan tentang mandi junub bagi wanita adalah:<br />
<ol><li>Seorang wanita mengambil airnya, kemudian berwudhu dan membaguskan wudhu’nya (dimulai dengan bagian yang kanan).</li>
<li>Menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali.</li>
<li>Menggosok-gosok kepalanya sehingga air sampai pada pangkal rambutnya.</li>
<li>Mengguyurkan air ke badan dimulai dengan bagian yang kanan kemudian bagian yang kiri.</li>
<li>Tidak wajib membuka jalinan rambut ketika mandi.</li>
</ol>Tata cara mandi yang disebutkan itu tidaklah wajib, akan tetapi disukai karena diambil dari sejumlah hadits-hadits Rasululllah <em>Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam</em>. Apabila dia mengurangi tata cara mandi sebagaimana yang disebutkan, dengan syarat air mengenai (menyirami) seluruh badannya, maka hal itu telah mencukupinya. <em>Wallahu A’lam bish-shawab.</em>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-74017088464421776782011-05-29T05:33:00.001-07:002011-05-29T05:33:51.121-07:00Saudariku, Berjilbablah Sesuai Ajaran Nabimu!Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi<br />
Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, <em>“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.”</em> (Al Baqoroh: 216)<em>.</em> Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.<br />
<span id="more-13"></span> <strong>Perintah dari Atas Langit</strong><br />
Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, <em>“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.”</em> (Al Ahzab: 59)<br />
<strong>Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at</strong><br />
Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom <em>(<strong>bukan ‘muhrim’</strong>, karena muhrim berarti orang yang berihrom)</em> yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.<br />
<strong>Pertama</strong><br />
Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31)<em>.</em> Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.<br />
<strong>Kedua</strong><br />
Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…<br />
<strong>Ketiga</strong><br />
Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.<br />
<strong>Keempat</strong><br />
Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi <em>shollallohu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.”</em> (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! <em>Wallohul musta’an.</em><br />
<strong>Kelima</strong><br />
Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)<br />
<strong>Keenam</strong><br />
Tidak menyerupai pakaian orang-orang kafir. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.<br />
<strong>Ketujuh</strong><br />
Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah <em>rodhiyallohu ‘anha</em> yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? <em>Wallohul muwaffiq.</em><br />
(Disarikan oleh Abu Mushlih dari <em>Jilbab Wanita Muslimah</em> karya Syaikh Al Albani)aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-77937540972467179692011-05-29T05:29:00.001-07:002011-05-29T05:29:32.000-07:00Saudariku… Kuingin Meraih Surga Bersamamu<h1><br />
</h1><div id="fb_share_1" style="float: right; margin-left: 10px;"><a href="http://www.facebook.com/sharer.php?u=http%253A%252F%252Fmuslimah.or.id%252Fakhlak-dan-nasehat%252Fsaudariku-kuingin-meraih-surga-bersamamu.html&src=sp" name="fb_share" style="text-decoration: none;" type="box_count"><span class="fb_share_size_Small fb_share_count_wrapper"><span></span><span class="fb_share_count_nub_top "></span><span class="fb_share_count fb_share_count_top"><span class="fb_share_count_inner"></span></span><span class="FBConnectButton FBConnectButton_Small" style="cursor: pointer;"><span class="FBConnectButton_Text"></span></span></span></a></div>Penulis: Ummu Ziyad<br />
Memakai jilbab, untuk saat ini dan di negara ini, bukanlah berarti sebuah pengilmuan akan agama. Dulu aku pernah beranggapan bahwa seorang yang memakai jilbab adalah orang yang akan berusaha mempertahankan jilbabnya disebabkan proses pemakaian jilbab itu sendiri membutuhkan pergulatan di hati yang membuncah-buncah dan penuh derai air mata. Tapi sayangnya, makin bertambah usiaku, maka berubah pula anggapan itu disebabkan berbagai kenyataan yang kutemui.<br />
<span id="more-110"></span>Aku baru menyadari ada sebagian wanita yang menggunakan jilbab hanya karena sekedar disuruh atau diwajibkan oleh orang tua, tempat belajar atau tempatnya bekerja. Jika telah keluar dari ‘aturan’ itu, maka lepas pula jilbab yang menutupi kepalanya. Mungkin karena itulah kain-kain itu tidak menutup secara benar kepala dan dada mereka.<br />
Sebagian lagi, memakai jilbab karena pada saat itu, jilbab terasa pas untuk dipakai dan lebih menimbulkan kesan ‘gaya’ dan kereligiusan agama. Apalagi jika diberi pernak-pernik di sana-sini. Jilbab yang seharusnya menutup keindahan wanita tersebut malah justru menambah keindahan itu sendiri. Ditambah lagi kesan agamis yang terasa nyaman di hati.<br />
Aku juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa orang-orang memakai cadar dan berjilbab lebar apakah tidak kepanasan dengan seluruh atributnya? Apakah tidak repot jika hendak keluar dimana mereka harus memakai seluruh kain panjang tersebut? Mulai dari baju, jilbab yang lebar, masih harus ditambah memakai kaus kaki! Ah! Dan di balik jilbab itu, ternyata masih ada jilbab lagi! Dan… apakah mereka bisa melihat dari balik cadar yang menutup matanya?<br />
Untuk yang satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Karena butuh pengetahuan lain yang merasuk ke dalam hati untuk mendapatkan jawabannya. Pengetahuan akan indahnya Islam dengan segala pengaturan yang diberikan oleh Allah. Pengetahuan akan surga yang begitu indah dan damai dengan segala kenikmatannya. Pengetahuan bahwa surga tidak akan tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di depan khalayak. Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang paling banyak adalah wanita. Ternyata kerepotan itu bukanlah kerepotan, melainkan sebuah usaha. Usaha dari seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya. Untuk bersanding dengan suaminya ditemani dengan bidadari cantik lainnya. Panas dari jilbab itu bukanlah rasa panas yang menyesakkan pikiran dan dada. Akan tetapi hanya sepercik penguji jiwa yang dapat meluruhkan dosa-dosa kecil dari seorang insan wanita. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap kesusahan yang dialami muslim merupakan peluruh bagi dosa-dosanya.<br />
Maka… hatiku kini pedih… Ketika kemarin melihat saudariku yang lain, seiring dengan berjalannya waktu, kini telah membuka jilbabnya. Sempat kutanyakan, <em>“Di mana jilbabnya?”</em><br />
Ia menjawab, <em>“Tidak sempat kupakai.”</em><br />
Aih… waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya dikarenakan bencana alam. Aku hanya terdiam mendengar jawaban itu. Ah… mungkin karena sangat terkejutnya sehingga tidak sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.<br />
Tapi hari ini… kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan tak tersisa sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai jilbab. Kini ia telah bercelana pendek dengan pakaian yang pendek pula. Sesak rasanya dada ini. Tetapi belum ada daya dari diriku untuk bertanya lagi tentang sebuah kain yang menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku, jika seseorang yang menggunakan jilbab melepas jilbabnya… maka habislah sudah… karena perenungan dan pergulatan hati itu kini telah dikalahkan oleh hawa nafsu. Perenungan yang pernah mendapatkan kemenangan dengan dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak mau diingat. Hanya kepada Allah-lah aku mengadu dan memohonkan hidayah itu agar tetap ada bersamaku dan kembali ditunjukkan kepadanya.<br />
Saudariku… kuingin meraih surga bersamamu. Maka, saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga kita bertemu di surga kelak…aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-52229529835657993942011-05-28T18:53:00.001-07:002011-05-28T18:53:51.097-07:00Hukum Seputar HAIDPenulis: Ummu Hamzah<br />
Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar<br />
Pada tulisan yang telah lalu telah dibahas mengenai hal-hal yang diharomkan bagi wanita haid. Pada tulisan bagian kedua ini, akan dipaparkan tiga permasalahan penting terkait wanita haid, yaitu mengenai boleh tidaknya wanita haid masuk ke dalam masjid serta menyentuh dan membaca Al Qur’an.<br />
<span id="more-33"></span> <strong>Bolehkah seorang wanita yang sedang haid masuk dan duduk di dalam masjid ?</strong><br />
Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil:<br />
لاَأُحِلُّ الْمَسْجِدُ ِلحَائِضٍُ وَلا َجُنُبٍ<br />
<em>“Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.”</em> (Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain)<br />
Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits <em>dho’if</em> (lemah) meski memiliki beberapa <em>syawahid</em> (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -<em>rahimahullaah</em>- telah menjelaskan hal tersebut dalam <em>‘Dho’if Sunan Abi Daud’</em> no. 32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu al Qohthon, dan Asy Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-<em>dho’if</em>-an hadits ini dalam <em>Irwa’ul Gholil’</em> I/201-212 no. 193.<br />
Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid duduk di masjid (<em>Jami’ Ahkamin Nisa’</em> I/191-192):<br />
<ol><li>Adanya seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada zaman Nabi <em>shallallahu’alaihi wa sallam</em>. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Nabi <em>shallallahu’alaihi wa sallam</em> memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika ia mengalami haidh.</li>
<li>Sabda Nabi <em>shallallahu’alaihi wa sallam</em> kepada ‘Aisyah <em>radhiyallahu’anha</em>, <em>“Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di Baitullah.”</em> Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk sholat, maka wanita itu hanya dilarang untuk thowaf dan tidak dilarang masuk ke dalam masjid. Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh.</li>
</ol><strong>Kesimpulan:</strong><br />
Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.<br />
<strong>Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?</strong><br />
Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:<br />
لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ<br />
<em>“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.”</em> (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)<br />
Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”<br />
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”<br />
Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka hadits ini <em>dhoif</em>.” (Diringkas dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari <em>Irwa’ul Gholil</em> I/206-210)<br />
Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al Qur’an.<br />
Hadits dari ‘Aisyah <em>radhiyallahu’anha</em> beliau berkata, <em>“Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.”</em> (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)<br />
Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (<em>Jami’ Ahkamin Nisa’</em> I/183)<br />
<strong>Kesimpulan:</strong><br />
Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah <em>shallallahu’alaihi wa sallam</em> yang melarang hal tersebut. <em>Wallahu Ta’ala a’lam.</em><br />
<strong>Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?</strong><br />
Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan ayat:<br />
لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ<br />
Artinya:<br />
<em>“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”</em> (QS. Al Waqi’ah: 79)<br />
يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.<br />
Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi <em>shallallahu’alaihi wa sallam</em> menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:<br />
لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ<br />
<em>“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.”</em> (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)<br />
Sanad hadits ini <em>dho’if</em> namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi <em>shahih li ghairihi </em>(<em>Irwa’ul Ghalil</em> I/158-161, no. 122)<br />
Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:<br />
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ<br />
Artinya:<br />
<em>“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.”</em> (QS. Al Waqi’ah: 77-80)<br />
Kata ganti ﻪ (-nya pada <em>“Tidak menyentuhnya”</em>) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (<em>Kitab yang terpelihara</em>). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.<br />
Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad <em>shallallaahu’alaihi wa sallam</em>, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (<em>Tafsir Ath Thobari</em> XI/659).<br />
Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:<br />
<ol><li>Ibnu ‘Abbas berkata, <em>“Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.”</em> [<em>Tafsir Ibnu Katsir</em> (Terj.)]</li>
<li>Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.” (<em>Tafsir Ath Thobari</em> XI/659)</li>
</ol>Imam Asy Syaukani berkata dalam <em>Nailul Author</em>, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits:<br />
الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ<br />
<em>“Orang mu’min itu tidaklah najis.”</em> (Muttafaqun ‘alaih)<br />
Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, <em>“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”</em> (QS. At Taubah: 28)<br />
Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk <em>isim maf’ul</em>-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk <em>isim fa’il</em> (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.<br />
Mengenai hadits <em>“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”</em>, Syaikh Nashiruddin Al Albani <em>rahimahullah</em> berkata, “Yang paling dekat -Wallahu a’lam- maksud <em>“orang yang suci”</em> dalam hadits ini adalah orang mu’min baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau <em>shallallahu’alaihi wa sallam</em>: <em>“Orang mu’min tidakah najis”</em> dan hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:<br />
نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو<br />
<em>“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.”</em> (Hadits riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari <em>Tamamul Minnah</em>, hal. 107).<br />
Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang <em>mushaf</em> untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, <em>“Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.”</em> (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)<br />
Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada <em>mushhaf</em> sebelum berwudhu”.<br />
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi <em>shallallahu’alaihi wa sallam</em>. Beliau bersabda, <em>‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’</em> dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari <em>Irwaul Gholil</em> I/161 dari <em>Masa’il Imam Ahmad</em> hal. 5)<br />
Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.” (<em>Jami’ Ahkamin Nisa’</em> I/188).<br />
<strong>Kesimpulan:</strong><br />
Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. <em>Wallaahu Ta’ala A’lam.</em><br />
<strong>Rujukan:</strong><br />
<ol><li>Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, artikel Majalah As Sunnah 01/ IV/ 1420-1999, Abu Sholihah Muslim al Atsari.</li>
<li><em>Jami’ Ahkamin Nisa’</em>, Syaikh Musthofa al ‘Adawi.</li>
<li><em>Tafsir Al Qur’an Al ‘Adziim</em> (Terj. <em>Tafsir Ibnu Katsir</em> Jilid 8), Ibnu Katsir.</li>
</ol>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-29068099978632537692011-05-28T18:44:00.000-07:002011-05-28T18:44:10.830-07:00MMuslimah yang ikhlasSaudariku muslimah… ketahuilah bahwa engkau dan manusia seluruhnya di muka bumi ini diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah, demikian pula tujuan jin diciptakan tidak lain adalah untuk meyembah Allah.<br />
<span id="more-23"></span> Allah berfirman,<br />
<em>“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu (yaitu mengesaknKu).”</em> (Adz Dzariyat 56)<br />
Ibadah dilakukan oleh seorang muslimah karena kebutuhannya terhadap Allah sebagai tempat sandaran hati dan jiwa, sekaligus tempat memohon pertolongan dan perlindungan. Dan ketahuilah saudariku bahwa ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal seorang muslimah, di samping dia harus mencontoh gerak dan ucapan Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam ibadahnya.<br />
<em>“Dan mereka tidaklah disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan dien (agama) kepadaNya, dengan mentauhidknnya.”</em> (Al Bayyinah 5)<br />
Ikhlas adalah meniatkan ibadah seorang muslimah hanya untuk mengharap keridhoan dan wajah Allah semata dan tidak menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah tersebut. Ibadah yang dilakukan untuk selain Allah atau menjadikan sekutu bagi Allah sebagai tujuan ibadah ketika sedang beribadah kepada Allah adalah syirik dan ibadah yang dilakukan dengan niat yang demikian tidak akan diterima oleh Allah. Misalnya menyembah berhala di samping menyembah Allah atau dengan ibadah kita mengharapkan pujian, harta, kedudukan dunia, dan lain-lain. Syirik merusak kejernihan ibadah dan menghilangkan keikhlasan dan pahalanya.<br />
Abu Umamah meriwayatkan, seseorang telah menemui Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan bertanya, <em>“Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan upah dan pujian? Apakah ia mendapatkan pahala?”</em><br />
<em>Rasululllah</em><em> shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab</em><em>, ” Ia tidak mendapatkan apa-apa.”</em><br />
<em> </em><em>Orang tadi mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, dan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap menjawab, ” Ia tidak akan mendapatkan apa-apa. ” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni karenaNya dan mengharap wajahNya.”</em> (HR. Abu Dawud dan Nasai)<br />
Ketahuilah saudariku… bahwa ikhlas bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ikhlas adalah membersihkan hati dari segala kotoran, sedikit atau pun banyak – sehingga tujuan ibadah adalah murni karena Allah.<br />
Ikhlas hanya akan datang dari seorang muslimah yang mencintai Allah dan menjadikan Allah sebagi satu-satunya sandaran dan harapan. Namun kebanyakan wanita pada zaman sekarang mudah tergoda dengan gemerlap dunia dan mengikuti keinginan nafsunya. Padahal nafsu akan mendorong seorang muslimah untuk lalai berbuat ketaatan dan tenggelam dalam kemaksiatan, yang akhirnya akan menjerumuskan dia pada palung kehancuran di dunia dan jurang neraka kelak di akhirat.<br />
Oleh karena itu, hampir tidak ada ibadah yang dilakukan seorang muslimah bisa benar-benar bersih dari harapan-harapan dunia. Namun ini bukanlah alasan untuk tidak memperhatikan keikhlasan. Ingatlah bahwa Allah sentiasa menyayangi hambaNya, selalu memberikan rahmat kepada hambaNya dan senang jika hambaNya kembali padaNya. Allah senatiasa menolong seorang muslimah yang berusaha mencari keridhoan dan wajahNya.<br />
Tetaplah berusaha dan berlatih untuk menjadi orang yang ikhlas. Salah satu cara untuk ikhlas adalah menghilangkan ketamakan terhadap dunia dan berusaha agar hati selalu terfokus kepada janji Allah, bahwa Allah akan memberikan balasan berupa kenikmatan abadi di surga dan menjauhkan kita dari neraka. Selain itu, berusaha menyembunyikan amalan kebaikan dan ibadah agar tidak menarik perhatianmu untuk dilihat dan didengar orang, sehingga mereka memujimu. Belajarlah dari generasi terdahulu yang berusaha ikhlas agar mendapatkan ridho Allah.<br />
Dahulu ada penduduk Madinah yang mendapatkan sedekah misterius, hingga akhirnya sedekah itu berhenti bertepatan dengan sepeninggalnya Ali bin Al Husain. Orang-orang yang yang memandikan beliau tiba-tiba melihat bekas-bekas menghitam di punggung beliau, dan bertanya, <em>“Apa ini?”</em> Sebagian mereka menjawab, <em>“Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di Madinah.”</em> Akhirnya mereka pun tahu siapa yang selama ini suka memberi sedekah kepada mereka. Ketika hidupnya, Ali bin Husain pernah berkata,<em> “Sesungguhnya sedekah yang dilakukan diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah.”</em><br />
Janganlah engkau menjadi orang-orang yang meremehkan keikhlasan dan lalai darinya. Kelak pad hari kiamat orang-orang yang lalai akan mendapati kebaikan-kebaikan mereka telah berubah menjadi keburukan. Ibadah mereka tidak diterima Allah, sedang mereka juga mendapat balasan berupa api neraka dosa syirik mereka kepada Allah.<br />
Allah berfirman,<br />
<em>“Dan (pada hari kiamat) jelaslah bagi azab mereka dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah bagi mereka keburukan dari apa-apa yang telah mereka kerjakan.”</em> (Az Zumar 47-48)<br />
<em>“Katakanlah, Maukah kami kabarkan tentang orang yang paling merugi amalan mereka? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usaha mereka di dunia, sedang mereka menyangka telah mengerjakan sebaik-baiknya.”</em> (Al Kahfi 103-104)<br />
Saudariku muslimah… bersabarlah dalam belajar ikhlas. Palingkan wajahmu dari pujian manusia dan gemerlap dunia. Sesungguhnya dunia ini fana dan akan hancur, maka sia-sia ibadah yang engkau lakukan untuk dunia. Sedangkan akhirat adalah kekal, kenikmatannya juga siksanya. Bersabarlah di dunia yang hanya sebentar, karena engkau tidak akan mampu bersabar dengan siksa api neraka walau hanya sebentar.aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-74634222920331669502011-05-28T17:36:00.000-07:002011-05-28T17:36:41.334-07:00Quran3D – Software Cantik Nan Apik Penampil al-Qur’an<a href="http://muslim.or.id/kolom-ti/quran3d-%E2%80%93-software-cantik-nan-apik-penampil-al-qur%E2%80%99an.html">Quran3D – Software Cantik Nan Apik Penampil al-Qur’an</a>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-48812321776633883612011-05-28T17:34:00.000-07:002011-05-28T17:34:11.499-07:00Inginku Sempurnakan Separuh Agamaku<a href="http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/inginku-sempurnakan-separuh-agamaku.html">Inginku Sempurnakan Separuh Agamaku</a>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-20202054530790181272011-05-27T07:44:00.000-07:002011-05-27T07:44:56.397-07:00Cinta Sejati Dalam IslamMakna ‘Cinta Sejati’ terus dicari dan digali. Manusia dari zaman ke zaman seakan tidak pernah bosan membicarakannya. Sebenarnya? apa itu ‘Cinta Sejati’ dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya?<br />
<span id="more-553"></span><br />
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.<br />
Masyarakat di belahan bumi manapun saat ini sedang diusik oleh mitos ‘<a href="http://pengusahamuslim.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/794-benarkah-cintamu-cinta-sejati.html" title="Cinta Sejati">Cinta Sejati</a>‘, dan dibuai oleh impian ‘Cinta Suci’. Karenanya, <em>rame-rame</em>, mereka mempersiapkan diri untuk merayakan hari cinta “Valentine’s Day”.<br />
Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengajak saudara menelusuri sejarah dan kronologi adanya peringatan ini. Dan tidak juga ingin membicarakan hukum mengikuti perayaan hari ini. Karena saya yakin, anda telah banyak mendengar dan membaca tentang itu semua. Hanya saja, saya ingin mengajak saudara untuk sedikit menyelami: apa itu cinta? Adakah cinta sejati dan cinta suci? Dan cinta model apa yang selama ini menghiasi hati anda?<br />
Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang begitu mengejutkan. Menurutnya: Sebuah hubungan cinta pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna, dan yang tersisa hanya dorongan seks, bukan cinta yang murni lagi.<br />
Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. (sumber: www.detik.com Rabu, 09/12/2009 17:45 WIB).<br />
Wah, gimana tuh nasib cinta yang selama ini anda dambakan dari pasangan anda? Dan bagaimana nasib cinta anda kepada pasangan anda? Jangan-jangan sudah lenyap dan terkubur jauh-jauh hari.<br />
Anda ingin sengsara karena tidak lagi merasakan indahnya cinta pasangan anda dan tidak lagi menikmati lembutnya buaian cinta kepadanya? Ataukah anda ingin tetap merasakan betapa indahnya cinta pasangan anda dan juga betapa bahagianya mencintai pasangan anda?<br />
Saudaraku, bila anda mencintai pasangan anda karena kecantikan atau ketampanannya, maka saat ini saya yakin anggapan bahwa ia adalah orang tercantik dan tertampan, telah luntur.<br />
Bila dahulu rasa cinta anda kepadanya tumbuh karena ia adalah orang yang kaya, maka saya yakin saat ini, kekayaannya tidak lagi spektakuler di mata anda.<br />
Bila rasa cinta anda bersemi karena ia adalah orang yang berkedudukan tinggi dan terpandang di masyarakat, maka saat ini kedudukan itu tidak lagi berkilau secerah yang dahulu menyilaukan pandangan anda.<br />
Saudaraku! bila anda terlanjur terbelenggu cinta kepada seseorang, padahal ia bukan suami atau istri anda, ada baiknya bila anda menguji kadar cinta anda. Kenalilah sejauh mana kesucian dan ketulusan cinta anda kepadanya. Coba anda duduk sejenak, membayangkan kekasih anda dalam keadaan ompong peyot, pakaiannya compang-camping sedang duduk di rumah gubuk yang reot. Akankah rasa cinta anda masih menggemuruh sedahsyat yang anda rasakan saat ini?<br />
Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar <em>radhiallahu ‘anhu</em> bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakar <em>radhiallahu ‘anhu</em>. Maka sejak hari itu, Abdurrahman <em>radhiallahu ‘anhu</em> mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman <em>radhiallahu ‘anhu</em> sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai:<br />
<em>Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah</em><br />
<em>Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?</em><br />
<em>Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita </em><br />
<em> Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.</em><br />
<em>Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,</em><br />
<em> Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu. </em><br />
Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattab <em>radhiallahu ‘anhu</em> merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman <em>radhiallahu ‘anhu</em>. Dan <em>subhanallah</em>, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar <em>radhiallahu ‘anhu</em>, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman <em>radhiallahu ‘anhu</em>.<br />
Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman <em>radhiallahu ‘anhu</em> kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> yang merupakan saudari kandungnya.<br />
Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: <em>“Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?”</em><br />
Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah <em>radhiallahu ‘anha. </em> Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata:<br />
يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى وأفرطت، وأبغضتها فأفرطت، فإما أن تنصفها، وإما أن تجهزها إلى أهلها، فجهزها إلى أهلها. <em> </em><br />
<em>“Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. </em>Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (<em>Tarikh Damaskus</em> oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & <em>Tahzibul Kamal</em> oleh Al Mizzi 16/559)<br />
Bagaimana saudaraku! Anda ingin merasakan betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi? Ataukah anda mengimpikan nasib serupa dengan yang dialami oleh Abdurrahman bin Abi Bakar <em>radhiallahu ‘anhu</em>?<sup>(</sup><sup>1</sup><sup>) </sup><br />
Tidak heran bila nenek moyang anda telah mewanti-wanti anda agar senantiasa waspada dari kenyataan ini. Mereka mengungkapkan fakta ini dalam ungkapan yang cukup unik: <em>Rumput tetangga terlihat lebih hijau dibanding rumput sendiri.</em><br />
Anda penasaran ingin tahu, mengapa kenyataan ini bisa terjadi?<br />
Temukan rahasianya pada sabda Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berikut ini:<br />
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ. رواه الترمذي وغيره <em></em><br />
<em>“Wanita itu adalah aurat (harus ditutupi), bila ia ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankannya begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya).”</em> (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)<br />
Orang-orang Arab mengungkapkan fenomena ini dengan berkata:<br />
كُلُّ مَمْنُوعٍ مَرْغُوبٌ <em></em><br />
<em>Setiap yang terlarang itu menarik (memikat).</em><br />
Dahulu, tatkala hubungan antara anda dengannya terlarang dalam agama, maka setan berusaha sekuat tenaga untuk mengaburkan pandangan dan akal sehat anda, sehingga anda hanyut oleh badai asmara. Karena anda hanyut dalam badai asmara haram, maka mata anda menjadi buta dan telinga anda menjadi tuli, sehingga andapun bersemboyan: <em>Cinta itu buta.</em> Dalam pepatah arab dinyatakan:<br />
حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ <em></em><br />
<em>Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli.</em><br />
Akan tetapi setelah hubungan antara anda berdua telah halal, maka spontan setan menyibak tabirnya, dan berbalik arah. Setan tidak lagi membentangkan tabir di mata anda, setan malah berusaha membendung badai asmara yang telah menggelora dalam jiwa anda. Saat itulah, anda mulai menemukan jati diri pasangan anda seperti apa adanya. Saat itu anda mulai menyadari bahwa hubungan dengan pasangan anda tidak hanya sebatas urusan paras wajah, kedudukan sosial, harta benda. Anda mulai menyadari bahwa hubungan suami-istri ternyata lebih luas dari sekedar paras wajah atau kedudukan dan harta kekayaan. Terlebih lagi, setan telah berbalik arah, dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan antara anda berdua dengan perceraian:<br />
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ. البقرة 102<em></em><br />
<em>“Maka mereka mempelajari dari Harut dan Marut (nama dua setan) itu apa yang dengannya mereka dapat menceraikan (memisahkan) antara seorang (suami) dari istrinya.”</em> (Qs. Al Baqarah: 102)<br />
Mungkin anda bertanya, lalu bagaimana saya harus bersikap?<br />
Bersikaplah sewajarnya dan senantiasa gunakan nalar sehat dan hati nurani anda. Dengan demikian, tabir asmara tidak menjadikan pandangan anda kabur dan anda tidak mudah hanyut oleh bualan dusta dan janji-janji palsu.<br />
Mungkin anda kembali bertanya: Bila demikian adanya, siapakah yang sebenarnya layak untuk mendapatkan cinta suci saya? Kepada siapakah saya harus menambatkan tali cinta saya?<br />
Simaklah jawabannya dari Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>:<br />
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. متفق عليه <em></em><br />
<em>“Biasanya, seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” </em> (Muttafaqun ‘alaih)<br />
Dan pada hadits lain beliau bersabda:<br />
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ. رواه الترمذي وغيره. <em></em><br />
<em>“Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.”</em> (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)<br />
Cinta yang tumbuh karena iman, amal sholeh, dan akhlaq yang mulia, akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang karena sinar matahari, dan tidak pula luntur karena hujan, dan tidak akan putus walaupun ajal telah menjemput.<br />
الأَخِلاَّء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ. الزخرف 67 <em></em><br />
<em>“Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” </em> (Qs. Az Zukhruf: 67)<br />
Saudaraku! Cintailah kekasihmu karena iman, amal sholeh serta akhlaqnya, agar cintamu abadi. Tidakkah anda mendambakan <a href="http://www.konsultasisyariah.com/" target="_blank" title="Konsultasi Syariah">cinta</a> yang senantiasa menghiasi dirimu walaupun anda telah masuk ke dalam alam kubur dan kelak dibangkitkan di hari kiamat? Tidakkah anda mengharapkan agar kekasihmu senantiasa setia dan mencintaimu walaupun engkau telah tua renta dan bahkan telah menghuni liang lahat?<br />
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda:<br />
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه <em></em><br />
<em>“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” </em>(Muttafaqun ‘alaih)<br />
Saudaraku! hanya cinta yang bersemi karena iman dan akhlaq yang mulialah yang suci dan sejati. Cinta ini akan abadi, tak lekang diterpa angin atau sinar matahari, dan tidak pula luntur karena guyuran air hujan.<br />
Yahya bin Mu’az berkata: <em>“Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.”</em><strong> </strong>Yang demikian itu karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, amal sholeh dan akhlaq mulia, sehingga bila iman orang yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlaq mulia. Inilah cinta suci yang abadi saudaraku.<br />
Saudaraku! setelah anda membaca tulisan sederhana ini, perkenankan saya bertanya: Benarkah cinta anda suci? Benarkah cinta anda adalah cinta sejati? Buktikan saudaraku… <em></em><br />
<em>Wallahu a’alam bisshowab</em>, mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan atau menyinggung perasaan.<br />
<br />
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-20297608873164687582011-05-26T17:57:00.001-07:002011-05-26T17:57:23.412-07:00Laksana Bidadari dalam Hati Suami 3 (Terjaga Kesuciannya)<strong>Dipingit dalam Kemah-Kemah yang Terjaga Kesuciannya</strong><br />
<strong> </strong><br />
Allah <em>‘Azza wa Jalla </em>berfirman,<br />
<div class="arab">حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ</div>“<em>(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam kemah-kemah.”</em> (Qs. Ar-Rahman: 72)<br />
Begitulah gambaran tentang terjaganya kesucian bidadari. Coba kita bayangkan dengan kondisi wanita sekarang, keadaan diriku dan dirimu…sudahkah kita sudah meniru akhlak wanita utama pendahulu kita yang shalihah? Tidaklah mereka keluar melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan mereka.<br />
Bidadari adalah makhluk yang teristimewa, maka tidaklah heran jika dia wanita yang sangat terjaga. Ingatkah kau zaman nenek moyang kita dahulu…tentang cerita wanita pemalu yang dipingit di dalam rumahnya, wanita yang terjaga dan menjaga dirinya? Begitulah gambaran bidadari yang hanya berada di dalam tempat kediamannya. Coba kita bayangkan dengan kondisi wanita sekarang, keadaan diriku dan dirimu…apakah kita sudah meniru akhlak wanita shalihah pendahulu kita yang hanya keluar untuk sekadar mencukupi kebutuhan mereka saja? Perhatikanlah kembali firman Allah <em>Ta’ala</em> dalam kitabNya,<br />
<div class="arab">وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا</div><em>“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dulu. dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya.</em> <em>Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. ” </em>(Qs. Al-Ahzab: 33)<br />
Dari ‘Aisyah <em>radhiyallahu’anha</em> berkata, “Saudah binti Zam’ah <em>radhiyallahu’anha</em> keluar pada suatu malam setelah turunnya perintah berhijab. Dia seorang wanita yang bertubuh besar sehingga tidak sulit bagi orang untuk mengenalinya. Lalu Umar melihatnya maka Umar <em>radhiyallahu’anhu</em> berkata, “Wahai Saudah, Demi Allah engkau tidak asing bagi kami. Lihatlah, bagaimana engkau bisa keluar?” Lalu ‘Aisyah berkata, “Maka Saudah pun berbalik pulang. Sedangkan Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa salllam</em> berada di rumahku sedang makan malam. Di tangannya ada daging. Maka Saudah pun masuk kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya keluar rumah untuk memenuhi keperluanku. Lalu Umar berkata begini dan begitu.” ‘Aisyah berkata, “Maka Allah mewahyukan kepada beliau dan daging masih di tangannya, beliau tidak meletakkannya. Kemudian Rasulullah <em>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
“<em>Telah diizinkan bagi kalian kaum wanita keluar untuk keperluan dan kebutuhan kalian.”</em> (HR. Bukhari)<br />
Ya…wanita memang tidak diharamkan keluar rumah, namun janganlah hanya untuk hal yang tidak perlu kita lalu bermudah-mudahan berkeliaran di luar sana, bahkan berdesak-desakan dengan lelaki asing untuk urusan yang kurang perlu. Kita lihat wanita masa kini, mereka seringkali terlihat berlalu lalang di sekitar pusat perbelanjaan untuk alasan “sekadar jalan-jalan”, duduk-duduk di <em>cafe</em>, ber<em>keluyuran</em> tidak <em>karuan</em> di tempat-tempat umum dan berbagai macam aktivitas yang kurang pantas dilakukan oleh wanita yang ingin terjaga <em>‘iffah</em>nya.<br />
Wanita dengan segala aktivitasnya di rumah yang boleh dibilang monoton, memang sesekali pasti merasa bosan tinggal di rumah dan butuh penyegaran suasana. Suami yang baik tentunya akan mengerti, memahani dan mengambil solusi yang bijak atas keadaan yang dialami sang istri, agar dia tidak keluyuran di luar rumah untuk sekadar mencari suasana baru.<br />
Allah <em>Ta’ala</em> berfirman,<br />
<div class="arab">لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ</div><em>“Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” </em>(Qs. Ar-Rahman: 74)<br />
Keadaan bidadari yang tiada pernah disentuh oleh seorangpun sebelum suaminya menghasilkan puncak kebahagiaan suami-suaminya terhadap mereka. Sesungguhnya kebahagiaan lelaki terhadap seorang wanita yang tidak pernah disentuh oleh siapapun memberikan arti tersendiri.<br />
Penjagaan Allah atas diri bidadari menunjukkan kemuliaan bidadari. Dan bentuk penjagaan diri ini sudah sepantasnya ditiru oleh wanita dunia agar wanita dunia senantiasa terjaga kemuliaannya. Kemuliaan dan kedudukan yang paling tinggi dan luhur dari seorang wanita ialah…jika sifat malunya tidak dinodai oleh makhluk. Tak didekati manusia serta tak seorangpun menjamah tubuhnya, baik menyetubuhi ataupun hanya melihatnya, kecuali oleh suami yang menikahi dan berhak atas dirinya.<br />
***<br />
Artikel <a href="http://muslimah.or.id/">muslimah.or.id</a><br />
Penulis: Fatihdaya Khairani<br />
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits<br />
<strong>Maraji’:</strong><br />
<ol><li><em>Tamasya ke Surga</em>, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.</li>
<li><em>Panduan Lengkap Nikah (Dari “A” sampai “Z”)</em>, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdirrazzak, Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan ke-4, Bogor, 2006.</li>
<li><em>Bersanding Dengan Bidadari di Surga</em>, Dr.Muhamamd bin Ibrahim An-Naim, Daar An Naba’, Cetakan Pertama, Surakarta, 2007.</li>
<li><em>Mengintip Indahnya Surga</em>, Syaikh Mahir Ahmad Ash-Shufi, Aqwam, Cetakan Pertama, Solo, 2008.</li>
<li><em>Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu</em>, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul falah, Cetakan ke-11, Jakarta, 2003.</li>
<li><em>Majelis Bulan Ramadhan</em>, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Pustaka Imam Syafi’i, Cetakan ke-2, Jakarta, 2007.</li>
<li><em>Bidadari Surga Agar Engkau Lebih Mulia Darinya</em>, ‘Itisham Ahmad Sharraf, IBS, Cetakan ke-3, Bandung 2008.</li>
</ol>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-68961454128512280952011-05-26T17:52:00.000-07:002011-05-26T17:52:05.812-07:00<h1>Laksana Bidadari dalam Hati Suami 2 (Menjaga Pandangan)</h1><img alt="" class="lead_image" height="225" src="http://muslimah.or.id/img/2010/12a.jpg" width="300" /><a href="http://www.facebook.com/sharer.php?u=http%253A%252F%252Fmuslimah.or.id%252Fakhlak-dan-nasehat%252Flaksana-bidadari-dalam-hati-suami-bagian-2.html&src=sp" name="fb_share" style="text-decoration: none;" type="box_count"><span class="fb_share_size_Small fb_share_count_wrapper"><span class="FBConnectButton FBConnectButton_Small" style="cursor: pointer;"><span class="FBConnectButton_Text"></span></span></span></a><br />
<strong>Berkulit Mulus dan Bertubuh Molek</strong><br />
Allah <em>Ta’ala</em> berfirman,<br />
<div class="arab">كَأَنَّهُنَّ الْيَاقُوتُ وَالْمَرْجَانُ</div>“<em>Seakan – akan para bidadari itu permata yaqut dan marjan” </em>(Qs. Ar-Rahman: 58)<br />
Abdullah bin Mas’ud <em>radhiyallahu ‘anhu</em> meriwayatkan bahwa Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda:<br />
<em>“Salah satu wanita surga, sungguh dapat dilihat putih betisnya dari balik tujuh puluh pakaian. Hal ini karena Allah berfirman, “Mereka bagaikan Yaqut dan Marjan.” Beliau melanjutkan, “Yaqut adalah batu. Kalau saja kawat dimasukkan ke dalamnya, kemudian kamu menjernihkanny, pasti kamu bisa melihat kawat dari balik batu tersebut.” </em>(Hr. At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban, di dalam Al Jami’)<br />
Pada masa modern seperti ini industri kaca, kristal, batu mulia sudah lah maju dengan pesatnya, dan dalam ayat tersebut Allah menggambarkan keadaan bidadari laksana dua jenis batu mulia yang menunjukkan keelokan mereka yang memikat, kemurnian <em>Yaqut</em> dan keputihan <em>Marjan</em>. Sudah selayaknya makhluk seperti bidadari ini diciptakan dari zat yang murni, jernih, lembut, sesuai dengan kemolekan dan kecantikan yang sungguh sangat menakjubkan. Dengan gambaran seperti itu tentulah lelaki penghuni surga dibuat terkesima melihat betapa berkilau dan bersinarnya tubuh bidadari.<br />
Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda:<br />
<em>“Masing – masing dari mereka mendapatkan dua orang istri (bidadari) yang tulang kedua kaki mereka dapat terlihat dari balik daging mereka.” </em>(HR. Bukhari dan Muslim)<br />
Ketebalan daging yang transparan pada bidadari menunjukkan kekhususan dan perbedaan antara daging bidadari dan daging wanita dunia. Bagaimana tidak?daging bidadari yang transparan itu menunjukkan betapa bening daging tubuh bidadari. Disebutkan juga bahwa tubuh yang transparan itu bercampur dengan warna putih hingga membuat tubuhnya menjadi putih, bening, indah, dan cantik jelita. Allah <em>‘Azza wa Jalla </em>berfirman,<br />
<div class="arab">كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَكْنُونٌ</div>“<em>Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik.”</em> (Qs. Ash-Shaffat: 49)<br />
Orang Arab mengenal telur yang tersimpan dengan baik itu adalah telur burung unta yang terpendam dalam pasir. Warnanya putih dan tidak ada yang melebihi putihnya. Ciri yang transparan dan bening ini dilukiskan dalam Al-Qur’an dengan ungkapan <em>Yaqut, Marjan, Al-Lu’lu Al-Maknuun, Baidhun Maknuun</em>.<br />
<strong>Tidak Liar Pandangannya</strong><br />
Allah <em>Ta’ala</em> berfirman,<br />
<div class="arab">فِيهِنَّ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ</div><em>“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan dan menundukkan pandangannya.</em>” (Qs. Ar-Rahman: 56)<br />
<div class="arab">وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ</div>“Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang sopan dan menundukkan pandangannya dan matanya jelita.” (Qs. Ash-Shaffat: 48)<br />
<div class="arab">وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ أَتْرَابٌ</div><em>“Dan pada sisi mereka ada bidadari-bidadari yang menundukkan pandangannya dan sebaya umurnya.” </em>(Qs. Shad: 52)<br />
Wanita dunia yang menyakiti suaminya dengan memandang lelaki selain suaminya, dan menikmati pandangan tersebut menunjukkan kekurangan dan kehinaannya. Maka Allah pun mengganti wanita yang demikian dengan bidadari-bidadari yang sempurna lagi istimewa bagi hambaNya yang shalih, yang mana bidadari-bidadari tersebut hanya menujukan pandangannya terhadap suami-suami mereka. Terdapat point penting yang bisa kita ambil dari sini, yakni:<br />
<ol><li>Ayat ini menjelaskan tentang keutamaan bidadari yang menunjukkan pandangannya hanya bagi suaminya. Mereka terbiasa untuk tidak melihat ke lelaki lain kendatipun mereka memiliki mata jelita, dan satu-satunya pemandangan yang mereka lihat hanyalah suami-suami mereka. Ya, karena di mata mereka…suami merekalah yang paling tampan. Saudariku…ingin kubertanya padamu, sudahkah engkau menunjukkan pandangan penuh kasih sayang, kerinduan dan cinta hanya bagi suamimu? Bagaimana dengan keadaan suami dalam pandangan matamu, wahai saudariku?</li>
<li>Ayat ini menjelaskan bahwa para bidadari itu sangat mencintai suami mereka. Bahkan mereka “menutup mata” kepada lelaki lain untuk selama-selamanya. Pandangan, hati, cinta, bahkan dirinya hanya ditujukan bagi suami mereka. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang yang hidup dengan penuh rasa cinta yang mendalam kepada Sang Suami, seperti kedalaman cinta Qais pada Laila. Karena cinta yang mendalam dapat menjadikan seseorang hanya melihat kepada orang yang ia cintai.</li>
</ol>Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> berfirman,<br />
<div class="arab">وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ</div><em>“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung..” </em>(Qs. An-Nuur: 31)<br />
Dan alangkah indahnya perkataan penyair,<br />
<em> “Segala peristiwa berawal dari pandangan mata</em><br />
<em>Jilatan api bermula dari setitik bara</em><br />
<em>Berapa banyak pandangan yang membelah hati<br />
Laksana anak panah yang melesat dari tali”</em><br />
Mata ibarat duta, sedangkan hati sebagai rajanya. Betapa banyak cinta itu bermula, hanya karena pandangan mata yang sungguh sangat menggoda yang lambat laun bergerak menjalar dan mengakar di dalam dada. Maka, jika kau biarkan matamu memandang liar kepada lelaki yang tiada halal bagimu, yakinkah engkau masih mampu mempertahankan sebentuk cinta dalam hati bagi suamimu?!<br />
Bersambung <em>insyaallah</em><br />
***<br />
Artikel <a href="http://muslimah.or.id/">muslimah.or.id</a><br />
Penulis: Fatihdaya Khairani<br />
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits<br />
<strong>Maraji’:</strong><br />
<ol><li><em>Tamasya ke Surga</em>, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.</li>
<li><em>Panduan Lengkap Nikah (Dari “A” sampai “Z”)</em>, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdirrazzak, Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan ke-4, Bogor, 2006.</li>
<li><em>Bersanding Dengan Bidadari di Surga</em>, Dr.Muhamamd bin Ibrahim An-Naim, Daar An Naba’, Cetakan Pertama, Surakarta, 2007.</li>
<li><em>Mengintip Indahnya Surga</em>, Syaikh Mahir Ahmad Ash-Shufi, Aqwam, Cetakan Pertama, Solo, 2008.</li>
<li><em>Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu</em>, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul falah, Cetakan ke-11, Jakarta, 2003.</li>
<li><em>Majelis Bulan Ramadhan</em>, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Pustaka Imam Syafi’i, Cetakan ke-2, Jakarta, 2007.</li>
<li><em>Bidadari Surga Agar Engkau Lebih Mulia Darinya</em>, ‘Itisham Ahmad Sharraf, IBS, Cetakan ke-3, Bandung 2008.</li>
</ol>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-13428399460018824292011-05-05T22:49:00.001-07:002011-05-05T22:49:53.064-07:00Ternyata Hari Jum’at itu IstimewaPenyusun: Ummu Aufa<br />
Muraja’ah: Ustadz Abu Salman<br />
<div id="fb_share_1" style="float: right; margin-left: 10px;"><span class="fb_share_size_Small fb_share_count_wrapper"><span></span><span class="fb_share_count_nub_top "></span><span class="fb_share_count fb_share_count_top"></span></span><a href="http://www.facebook.com/sharer.php?u=http%253A%252F%252Fmuslimah.or.id%252Fakhlak-dan-nasehat%252Fternyata-hari-jumat-itu-istimewa.html&src=sp" name="fb_share" style="text-decoration: none;" type="box_count"><span class="fb_share_size_Small fb_share_count_wrapper"><span class="fb_share_count fb_share_count_top"><span class="fb_share_count_inner"></span></span></span></a></div>Saudariku, kabar gembira untuk kita semua bahwa ternyata kita mempunyai hari yang istimewa dalam deretan 7 hari yang kita kenal. Hari itu adalah hari jum’at. Saudariku, hari jum’at memang istimewa namun tidak selayaknya kita berlebihan dalam menanggapinya. Dalam artian, kita mengkhususkan dengan ibadah tertentu misalnya puasa tertentu khusus hari Jum’at, tidak boleh pula mengkhususkan bacaan dzikir, do’a dan membaca surat-surat tertentu pada malam dan hari jum’at kecuali yang disyari’atkan.<br />
<span id="more-74"></span><br />
Nah artikel kali ini, akan menguraikan beberapa keutamaan-keutamaan serta amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari jum’at. Semoga dengan kita memahami keutamaannya, kita bisa lebih bersemangat untuk memaksimalkan dalam melaksanakan amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari itu, dan agar bisa meraih keutamaan-keutamaan tersebut.<br />
<strong>Keutamaan Hari Jum’at</strong><br />
1. Hari paling utama di dunia<br />
Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada hari jum’at ini, antara lain:<br />
<ul><li>Allah menciptakan Nabi Adam <em>‘alaihissallam</em> dan mewafatkannya.</li>
<li>Hari Nabi Adam <em>‘alaihissallam</em> dimasukkan ke dalam surga.</li>
<li>Hari Nabi Adam <em>‘alaihissallam</em> diturunkan dari surga menuju bumi.</li>
<li>Hari akan terjadinya kiamat.</li>
</ul>Dari Abu Hurairah <em>radhiyallahu ‘anhu</em> bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata:<br />
<em>“Hari paling baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam surga, serta diturunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi, pada hari tersebut terdapat suatu waktu dimana tidaklah seorang mukmin shalat menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali Allah akan mengabulkan permintannya.”</em> (HR. Muslim)<br />
2. Hari bagi kaum muslimin<br />
Hari jum’at adalah hari berkumpulnya umt Muhammad <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam masjid-masjid mereka yang besar untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah jum’at yang berisi wasiat taqwa dan nasehat-nasehat, serta do’a.<br />
Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy <em>radhiyallahu ‘anhuma</em> bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata, <em>“Allah menyesatkan orang-orang sebelum kami pada hari jum’at, Yahudi pada hari sabtu, dan Nasrani pada hari ahad, kemudian Allah mendatangkan kami dan memberi petunjuk pada hari jum’at, mereka umat sebelum kami akan menjadi pengikut pada hari kiamat, kami adalah yang terakhir dari penghuni dunia ini dan yang pertama pada hari kiamat yang akan dihakimi sebelum umat yang lain.”</em> (HR. Muslim dan Ibnu Majah)<br />
3. Hari yang paling mulia dan merupakan penghulu dari hari-hari<br />
Dari Abu Lubabah bin Ibnu Mundzir <em>radhiyallahu ‘anhu</em> berkata, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata, <em>“Hari jum’at adalah penghulu hari-hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari jum’at ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari jum’at terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari jum’at juga Adam dimatikan, di hari jum’at terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari jum’at pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari jum’at.”</em> (HR. Ahmad)<br />
4. Waktu yang mustajab untuk berdo’a<br />
Dari Abu Hurairah <em>radhiyallahu ‘anhu</em> bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menyebut hari jum’at lalu beliau Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<em>“Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.”</em> Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu. (HR. Bukhari Muslim)<br />
Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:<br />
a. Waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai pelaksanaan shalat jum’at<br />
Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari <em>radhiyallahu ‘anhu</em> bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar <em>radhiyallahu ‘anhuma</em> berkata padanya, <em>“Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at?”</em> Lalu Abu Burdah mengatakan, <em>“Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’”</em> (HR. Muslim)<br />
Imam Nawawi <em>rahimahullah</em> menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi <em>rahimahullah</em> menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.<br />
b. Batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘ashar<br />
Dari Jabir bin ‘Abdillah <em>radhiyallahu ‘anhu</em>, dari Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.”</em> (HR. Abu Dawud)<br />
Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim <em>rahimahullah</em>, beliau mengatakn bahwa, <em>“Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”</em><br />
5. Dosa-dosanya diampuni antara jum’at tersebut dengan jum’at sebelumnya<br />
Dari Salman Al-Farisi <em>radhiyallahu ‘anhu</em> mengatakan bahwa Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda:<br />
<em>“Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.”</em> (HR. Bukhari)<br />
<strong>Amalan-Amalan yang Disyari’atkan pada Hari Jum’at</strong><br />
1. Memperbanyak shalawat<br />
Dari Abu Umamah <em>radhiyallahu ‘anhu</em> bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata, <em>“Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum’at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari jum’at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku.”</em> (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)<br />
2. Membaca surat Al Kahfi<br />
Dari Abu Sa’id Al-Khudri <em>radhiyallahu ‘anhu</em>, Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda: <em>“Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at akan diberikan cahaya baginya diantara dua jum’at.”</em> (HR. Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)<br />
3. Memperbanyak do’a (HR Abu Daud poin 4b.)<br />
4. Amalan-amalan shalat jum’at (wajib bagi laki-laki)<br />
<ul><li>Mandi, bersiwak, dan memakai wangi-wangian.</li>
<li>Berpagi-pagi menuju tempat shalat jum’at.</li>
<li>Diam mendengarkan khatib berkhutbah.</li>
<li>Memakai pakaian yang terbaik.</li>
<li>Melakukan shalat sunnah selama imam belum naik ke atas mimbar.</li>
</ul>Saudariku, setelah membaca artikel tersebut semoga kita bisa mendapat manfaat yang lebih besar dengan menambah amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan. Sungguh begitu banyak jalan agar kita bisa meraup pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal perjalanan kita di akhirat kelak. <em>Wallahu a’lam</em>.<br />
<strong>Maraji’:</strong><br />
<ol><li><em>Do’a dan Wirid</em>, Pustaka Imam Asy-Syafi’i</li>
<li><em>Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-ladziina Aamanuu</em>, Pustaka Al-Kautsar</li>
<li><em>Amalan dan Waktu yang Diberkahi</em>, Pustaka Ibnu Katsir</li>
</ol>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-35661617999976349932011-05-04T05:16:00.001-07:002011-05-04T05:16:59.672-07:00Topeng Emansipasi<h1><br />
</h1><div id="fb_share_1" style="float: right; margin-left: 10px;"><a href="http://www.facebook.com/sharer.php?u=http%253A%252F%252Fmuslimah.or.id%252Fmanhaj%252Ftopeng-emansipasi.html&src=sp" name="fb_share" style="text-decoration: none;" type="box_count"><span class="fb_share_size_Small fb_share_count_wrapper"><span></span><span class="fb_share_count_nub_top "></span><span class="fb_share_count fb_share_count_top"><span class="fb_share_count_inner"></span></span><span class="FBConnectButton FBConnectButton_Small" style="cursor: pointer;"><span class="FBConnectButton_Text"></span></span></span></a></div>Penyusun: Ummu Khadijah dan Ummul Hasan<br />
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar<br />
Saudariku yang semoga dirahmati Allah, sudah tidak asing terdengar di telinga kita bahwa baiknya wanita akan menjadi kunci kebaikan umat. Peran dan partisipasi seorang wanita adalah suatu hal yang sangat penting. Wanita laksana pedang bermata dua, jika ia baik dan menunaikan tugas-tugas utamanya sesuai dengan yang Allah gariskan maka ia bagaikan batu-bata yang baik bagi bangunan masyarakat Islam. Namun jika ia telah menyimpang dari syari’at yang Allah tetapkan, maka ia ibarat pedang yang akan merusak dan menghancurkan umat.<span id="more-179"></span><br />
<strong><a href="http://http//muslimah.or.id/aqidah/topeng-emansipasi.html" title="Topeng Emansipasi">Emansipasi Wanita</a></strong><br />
Musuh-musuh Islam sangat paham bahwa peran wanita muslimah sangat penting dalam membangun masyarakat Islam. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha menyerang Islam melalui kaum wanitanya. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menghancurkan wanita muslimah melalui “emansipasi”. Mereka menamakan emansipasi sebagai gerakan yang membebaskan wanita dari kezhaliman dan untuk memenuhi hak-hak mereka secara adil (menurut mereka) –dengan slogan toleransi, kebebasan wanita, persamaan gender, dan sebagainya.<br />
Namun ketahuilah wahai Saudariku, emansipasi tumbuh dari sistem sekuler yang memisahkan antara kehidupan dan nilai agama. Mereka menginginkan wanita menjadi pesaing bagi laki-laki dan memperebutkan kedudukan dengan kaum laki-laki. Wanita dalam konsep mereka ibarat barang dagangan yang dipajang di etalase, yang siap dijadikan tontonan bagi para hamba syahwat dan menjadi budak nafsu mereka. <em>Na`udzubillah</em>, mereka juga berusaha menjauhkan wanita dari hijab dan rumah-rumah mereka, mengabaikan pengasuhan anak dengan mengatakan bahwa mengasuh anak tidak mendatangkan materi, membunuh kreatifitas dan menghambat potensi sumber daya manusia kaum wanita. Coba kita perhatikan, betapa menyedihkannya pemikiran mereka ini yang memandang baik buruknya kehidupan dari sudut pandang materi.<br />
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang mereka lontarkan. Mungkin secara sepintas, wacana emansipasi mampu menjawab problematika wanita dan mengangkat harkatnya tapi tidaklah mungkin itu diraih dengan mengorbankan kehormatan dan harga diri wanita. Sungguh, tak akan bisa disatukan antara yang haq dengan yang bathil. Mereka tidaklah ingin membebaskan wanita dari kezhaliman tetapi sesungguhnya merekalah yang ingin bebas menzhalimi wanita!!!<br />
<a href="http://muslimah.or.id/aqidah/topeng-emansipasi.html" title="Topeng Emansipasi"><strong>Wanita Dalam Islam</strong></a><br />
Islam benar-benar memperhatikan peran wanita muslimah, karena di balik peran mereka inilah lahir pahlawan dan pemimpin agung yang mengisi dunia dengan hikmah dan keadilan. Wanita begitu dijunjung dan dihargai perannya baik ketika menjadi seorang anak, ibu, istri, kerabat, atau bahkan orang lain.<br />
Saat menjadi anak, kelahiran anak wanita merupakan sebuah kenikmatan agung, Islam memerintahkan untuk mendidiknya dan akan memberikan balasan yang besar sebagaimana dalam hadits riwayat `Uqbah bin ‘Amir bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda yang artinya,<br />
<em>“Barangsiapa yang mempunyai tiga orang anak wanita lalu bersabar menghadapi mereka dan memberi mereka pakaian dari hasil usahanya maka mereka akan menjadi penolong baginya dari neraka.”</em> (HR. Ibnu Majah: 3669, Bukhori dalam “Adabul Mufrod”: 76, dan Ahmad: 4/154 dengan sanad shahih, lihat “Ash-Shahihah: 294).<br />
Ketika menjadi seorang ibu, seorang anak diwajibkan untuk berbakti kepadanya, berbuat baik kepadanya, dan dilarang menyakitinya. Bahkan perintah berbuat baik kepada ibu disebutkan oleh Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> sebanyak tiga kali baru kemudian beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> sebutkan perintah untuk berbuat baik kepada ayah. Dari Abu Hurairah berkata,<br />
<em>“Datang seseorang kepada Rasulullah lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak untuk menerima perbuatan baik dari saya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu,’ dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu,’ dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Rasulullah kembali menjawab, ‘Ibumu,’ lalu dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Rasulullah menjawab, ‘Bapakmu.’”</em> (HR. Bukhori: 5971, Muslim: 2548)<br />
Begitu pun ketika menjadi seorang istri, Islam begitu memperhatikan hak-hak wanita sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat-19 yang artinya:<br />
<em>“…Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik…”</em><br />
Dan saat wanita menjadi kerabat atau orang lain pun Islam tetap memerintahkan untuk mengagungkan dan menghormatinya. Banyaknya pembahasan tentang wanita di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan kemuliaan mereka. Karena sesuatu yang banyak dibahas dan mendapat banyak perhatian tentunya adalah sesuatu yang penting dan mulia. Lalu masih adakah yang berani mengatakan bahwa Islam menzhalimi wanita?!<br />
Wahai saudariku, demikianlah syari’at Islam menempatkan wanita di singgasana kemuliaan. Adapun di zaman sekarang, kenyataan yang terjadi di masyarakat sungguh jauh dari itu semua. Penyebabnya tidak lain adalah karena jauhnya umat Islam dari pemahaman yang benar terhadap agama mereka. Seringkali ada orang yang menjadikan kesalahan orang lain sebagai hujjah (argumentasi) baginya untuk turut berbuat kesalahan yang sama. Terkadang pula orang-orang menilai syari’at Islam dari perilaku orang-orang yang menyatakan bahwa mereka beragama Islam, namun pada hakekatnya perilaku mereka belumlah menggambarkan yang demikian. Oleh karena itu wahai Saudariku, janganlah menjadikan perilaku manusia sebagai dalil. Jadikanlah Al-Qur`an dan Sunnah dengan pemahaman para shahabat sebagai petunjuk bagi kita. Sungguh kita berlindung kepada Allah dari butanya hati dan akal dari kebenaran. <em>Wallahul musta’an</em>.<br />
Dinukil dari:<br />
Artikel <cite>“Keagungan Wanita Dalam Naungan Islam”</cite> (sumber: <cite>Majalah Al-Furqon</cite> Tahun 6 Edisi 9 Rabi’uts Tsani 1428 H)<br />
Buku <cite>“Emansipasi Wanita”</cite> karya Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid<br />
Buku <cite>“Wanita-wanita Teladan Di Masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”</cite> karya Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi dengan perubahan seperlunya.<br />
***<br />
Artikel <a href="http://muslimah.or.id/aqidah/topeng-emansipasi.html" title="Topeng Emansipasi">muslimah.or.id</a>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-30125415840265911772011-05-04T05:12:00.001-07:002011-05-04T05:12:30.196-07:00Cantiknya Bidadari…<h1><br />
</h1><img alt="" class="lead_image" height="225" src="http://muslimah.or.id/img/bunga8.jpg" width="300" /> <div id="fb_share_1" style="float: right; margin-left: 10px;"><a href="http://www.facebook.com/sharer.php?u=http%253A%252F%252Fmuslimah.or.id%252Fakhlak-dan-nasehat%252Fcantiknya-bidadari.html&src=sp" name="fb_share" style="text-decoration: none;" type="box_count"><span class="fb_share_size_Small fb_share_count_wrapper"><span></span><span class="fb_share_count_nub_top "></span><span class="fb_share_count fb_share_count_top"><span class="fb_share_count_inner"></span></span><span class="FBConnectButton FBConnectButton_Small" style="cursor: pointer;"><span class="FBConnectButton_Text"></span></span></span></a></div>Penulis: Ummu Ziyad Fransiska Mustikawati dan Ummu Rumman Siti Fatimah<br />
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar<br />
Terheran-heran. Tapi itulah kenyataan. Seseorang – yang mungkin dengan mudahnya – melepas jilbabnya dan merasa <em>enjoy</em> mempertontonkan kecantikannya. Entah dengan alasan apa, kepuasan pribadi, materi dunia, popularitas yang semuanya berujung pada satu hal, yaitu hawa nafsu yang tak terbelenggu.<br />
Padahal… nun di surga sana, terdapat makhluk yang begitu cantik yang belum pernah seorang pun melihat ada makhluk secantik itu. Dan mereka sangat pemalu dan terjaga sehingga kecantikan mereka hanya dinikmati oleh suami-suami mereka di surga.<br />
Berikut ini adalah kumpulan ayat dan hadits yang menceritakan tentang para bidadari surga.<br />
<span id="more-538"></span><br />
<strong>Harumnya Bidadari</strong><br />
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<em> “Sekiranya salah seorang bidadari surga datang ke dunia, pasti ia akan menyinari langit dan bumi dan memenuhi antara langit dan bumi dengan aroma yang harum semerbak. Sungguh tutup kepala salah seorang wanita surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” </em>(HR. Bukhari dan Muslim)<br />
<strong>Kecantikan Fisik</strong><br />
Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<em> “Rombongan yang pertama masuk surga adalah dengan wajah bercahaya bak rembulan di malam purnama. Rombongan berikutnya adalah dengan wajah bercahaya seperti bintang-bintang yang berkemilau di langit. Masing-masing orang di antara mereka mempunyai dua istri, dimana sumsum tulang betisnya kelihatan dari balik dagingnya. Di dalam surga nanti tidak ada bujangan.”</em> (HR. Bukhari dan Muslim)<br />
<div class="arab"> </div>كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُم بِحُورٍ عِينٍ<br />
<em>“Demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari.”</em> (Qs. Ad-Dukhan: 54)<br />
Abu Shuhaib al-Karami mengatakan, “Yang dimaksud dengan <em>hur</em> adalah bentuk jamak dari <em>haura</em>, yaitu wanita muda yang cantik jelita dengan kulit yang putih dan dengan mata yang sangat hitam. Sedangkan arti <em>‘ain</em> adalah wanita yang memiliki mata yang indah.<br />
Al-Hasan berpendapat bahwa <em>haura</em> adalah wanita yang memiliki mata dengan putih mata yang sangat putih dan hitam mata yang sangat hitam.<br />
<strong>Sopan dan Pemalu</strong><br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati bidadari dengan “menundukkan pandangan” pada tiga tempat di Al-Qur’an, yaitu:<br />
<em>“Di dalam surga, terdapat bidadari-bidadari-bidadari yang sopan, yang <strong>menundukkan pandangannya</strong>, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin. Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan? Seakan-akan biadadari itu permata yakut dan marjan.”</em> (Qs. Ar-Rahman: 56-58)<br />
<em>“Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang<strong> tidak liar pandangannya</strong> dan jelita matanya.”</em> (Qs. Ash-Shaffat: 48)<br />
<em>“Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang <strong>tidak liar pandangannya</strong> dan sebaya umurnya.”</em><br />
Seluruh ahli tafsir sepakat bahwa pandangan para bidadari surgawi hanya tertuju untuk suami mereka, sehingga mereka tidak pernah melirik lelaki lain.<br />
<strong>Putihnya Bidadari</strong><br />
Allah Ta’ala berfirman,<em> “Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.”</em> (Qs. ar-Rahman: 58)<br />
al-Hasan dan mayoritas ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah bidadari-bidadari surga itu sebening yaqut dan seputih marjan.<br />
Allah juga menyatakan,<em>“(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam kemah.” (</em>Qs. Ar-Rahman: 72)<br />
Maksudnya mereka itu dipingit hanya diperuntukkan bagi para suami mereka, sedangkan orang lain tidak ada yang melihat dan tidak ada yang tahu. Mereka berada di dalam kemah.<br />
Baiklah…ini adalah sedikit gambaran yang Allah berikan tentang bidadari di surga. Karena bagaimanapun gambaran itu, maka manusia tidak akan bisa membayangkan sesuai rupa aslinya, karena sesuatu yang berada di surga adalah sesuatu yang tidak/belum pernah kita lihat di dunia ini.<br />
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, mengatakan bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Allah Azza wa Jalla berfirman, “Aku siapkan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas oleh pikiran.” </em>(HR. Bukhari dan Muslim)<br />
Setelah mengetahui sifat fisik dan akhlak bidadari, maka bukan berarti bidadari lebih baik daripada wanita surga. Sesungguhnya wanita-wanita surga memiliki keutamaan yang sedemikian besar, sebagaimana disebutkan dalam hadits,<br />
<em>“Sungguh tutup kepala salah seorang wanita surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” </em>(HR. Bukhari dan Muslim)<br />
Dan lagi, seorang manusia telah Allah ciptakan dengan sebaik-baik rupa,<br />
<em>“Dan manusia telah diciptakan dengan sebaik-baik rupa.”</em> (Qs. At-Tiin: 4)<br />
Dari Ummu Salamah<em> radhiyallahu ‘anha</em>, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”<br />
Beliau<em> shallallahu’‘alaihi wa sallam</em> menjawab,<em> “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”</em><br />
Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”<br />
Beliau menjawab,<em> “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.”</em> (HR. Ath Thabrani)<br />
Subhanallah. Betapa indahnya perkataan Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Sebuah perkataan yang seharusnya membuat kita, wanita dunia, menjadi lebih bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk menjadi wanita shalihah. Berusaha untuk menjadi sebaik-baik perhiasan. Berusaha dengan lebih keras untuk bisa menjadi wanita penghuni surga..<br />
Nah, tinggal lagi, apakah kita mau berusaha menjadi salah satu dari wanita penghuni surga?<br />
Maraji’:<br />
<em>Mukhtashor Hadil al-Arwah ila Bilad al-Afrah</em> (Tamasya ke Surga) (terj), Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah.<br />
***<br />
Artikel<a href="http://muslimah.or.id/aqidah/cantiknya-bidadari.html" title="Cantiknya Bidadari"> muslimah.or.id</a>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-38393844477761902462011-05-04T05:06:00.001-07:002011-05-04T05:06:27.198-07:00Laksana Bidadari dalam Hati Suami 1 (Berhias Untuk Suami)<img alt="" class="lead_image" height="225" src="http://muslimah.or.id/img/2010/52.jpg" width="300" /><a href="http://www.facebook.com/sharer.php?u=http%253A%252F%252Fmuslimah.or.id%252Fakhlak-dan-nasehat%252Flaksana-bidadari-dalam-hati-suami-bagian-1.html&src=sp" name="fb_share" style="text-decoration: none;" type="box_count"><span class="fb_share_size_Small fb_share_count_wrapper"><span class="FBConnectButton FBConnectButton_Small" style="cursor: pointer;"><span class="FBConnectButton_Text"></span></span></span></a>Saudariku,<br />
Pada saatnya nanti kan tiba, engkau akan menjadi istri <em>-Insya Allah-.</em> Atau bahkan sekarang ini pun engkau sudah menjadi istri. Dan sudah barang tentu engkau pasti ingin menjadi wanita shalihah lagi berakhlak karimah. Ciri khas wanita shalihah yaitu wanita yang selalu berusaha merebut hati, mencari <a href="http://muslimah.or.id/tag/cinta">cinta</a> suami, selalu mengharap ridha suaminya agar mendulang pahala, demi meretas jalan menuju Al-Firdaus Al-A’la…di sanalah, dia akan berharap bisa menjadi “permaisuri” suaminya ketika di dunia.<br />
Lalu, lewat jalan manakah hati seorang lelaki akan terebut…dan ridhanya pun menyambut, sehingga dua jiwa dalam satu cinta akan bertaut?<br />
<em>Saudariku…</em><em>Bunga-bunga cinta suami dapat mekar bersemi,</em><em><br />
Harum semerbak mewangi di taman hati,<br />
Jika ia senantiasa disirami</em><br />
<em> </em><br />
Manis ucapan, santun perkataan, lembut perlakuan, dan baiknya pergaulan seorang wanita akan menjadi siraman yang dapat menumbuhkan benih-benih cinta di hati sanubari sang suami. Dan bukan hal yang mustahil, <strong>karena akhlakmulah, duhai wanita…hati suami pun akan mencinta<span style="text-decoration: underline;">.</span></strong><br />
Agar memiliki akhlak wanita yang mulia, seorang wanita seyogyanya berkiblat pada figur wanita abadi nan sempurna. Sosoknya banyak digambarkan dengan parasnya yang sungguh sangat cantik jelita. Kiranya engkau pun tahu…karena dia adalah…bidadari surga.<br />
Bidadari surga teramat istimewa, wanita yang Allah ciptakan dengan penuh kesempurnaan yang didambakan pria. Dengan segala keistimewaan yang ada dalam dirinya, kiranya itu menjadi tantangan bagi wanita dunia untuk bisa berusaha menyamai karakteristik bidadari surga. Menyinggung soal karakteristik, tentunya wanita dunia tidak akan mampu bersaing dengan bidadari dalam urusan fisik, dan yang bisa kita contoh adalah ciri khas akhlaknya. Baiklah, mari kita bersama-sama telusuri tabiat yang khas dari bidadari surga.<br />
<span style="color: red;"><strong>Cantik Parasnya, Baik Akhlaknya, dan Harum Bau Tubuhnya</strong></span><br />
Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> menyifati bidadari dengan keelokan dan kecantikan yang sungguh sempurna, sebagaimana yang tergambar dalam ayat berikut,<strong> </strong><br />
<div class="arab">وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ</div>” <em>Dan Kami pasangkan mereka dengan bidadari – bidadari yang cantik dan bermata jelita. ” </em>(Qs. Ath-Thur: 20) – bagian yg berwarna sebaiknya dibuang, agar sesuai dg terjemahannya<br />
<em><strong>Huur</strong></em> (<span class="arab"> حور</span>) adalah bentuk jamak dari kata <em>haura</em> (<span class="arab">حوراء </span>) yaitu wanita muda usia yang cantik mempesona, kulitnya mulus dan biji matanya sangat hitam.<br />
Hasan berkata, <em>“Al-Haura </em>(<span class="arab">الحوراء </span>)adalah wanita yang bagian putih matanya amat putih dan biji matanya sangat hitam.”<br />
<em> </em>Zaid bin Aslamberkata, “<em>Al-Haura adalah wanita yang matanya amat putih bersih dan indah.”</em><br />
Muqatilberkata, <em>“Al-Huur adalah wanita yang wajahnya putih bersih.”</em><br />
Mujahid berkata, <em>“Al-Huur Al-’Iin </em><em>(<span class="arab">الحور العين </span>) adalah wanita yang matanya sangat putih dan sumsum tulang betisnya terlihat dari balik pakaiannya. Orang bisa melihat wajahnya dari dada mereka karena dada mereka laksana cermin.”</em><br />
Seorang penyair berkata,<br />
<em>Mata yang sangat hitam di ujungnya telah membunuh kita<br />
Lalu tak menghidupkan kita lagi</em><br />
<em>Menaklukkan orang yang punya akal hingga tak bergerak<br />
Dan mereka ialah makhluk Allah yang paling indah pada manusia</em><br />
Benarlah memang, karena wanita juga akan tampak terlihat lebih menawan jika ia bermata indah, dengan kelopak mata yang lebar, berbiji mata hitam dikelilingi warna putih lagi bersih.<br />
<div class="arab">فِيهِنَّ خَيْرَاتٌ حِسَانٌ</div>“<em>Di dalam surga – surga ada bidadari – bidadari yang baik – baik lagi cantik – cantik.”. </em>(Qs. Ar-Rahman: 70)<br />
<em> </em><br />
<em><strong>Khairaatun</strong> </em>(<span class="arab"> خَيْرَاتٌ </span>) adalah jamak dari kata <em>khairatun</em>, sedangkan <em>hisaan</em> adalah bentuk jamak dari <em>hasanatun</em> ( <span class="arab"> حسنة</span>). Maksudnya, bidadari – bidadari tersebut baik akhlaknya dan cantik wajahnya. Beruntunglah seorang pria yang diberi anugrah wanita secantik akhlak bidadari surga. Perhatikan dan tanyakan pada diri kita…<br />
Apakah kita sudah sepenuhnya memenuhi hak-hak suami, memuliakannya dengan sepenuh hati dan segenap jiwa? Apakah kita sudah berterima kasih atas kebaikannya? Pernahkah kita menyakitinya dengan sadar atau tidak??<br />
Duhai istri…Suami yang beriman merupakan orang yang mulia di sisi Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em>. Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> akan marah jika engkau menghina dan menyakiti lelaki yang memiliki kedudukan yang mulia di sisiNya. Sebagai gantinya, Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> menugaskan para bidadari untuk menjunjung kemuliaan suami-suami mereka di dunia ketika para istri menyakiti mereka <em>- </em>sekalipun sedikit <em>-</em> di dunia.<br />
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<em>“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya ketika di dunia, melainkan istri suami tersebut yang berasal dari kalangan bidadari akan berkata, ‘Jangan sakiti dia! Semoga Allah mencelakakanmu, sebab dia berada bersamamu hanya seperti orang asing yang akan meninggalkanmu untuk menemui kami.” (</em>Hr. Tirmidzi dan Ahmad. Menurut Imam Tirmidzi, ini hadits hasan)<br />
Diriwayatkan dari Anas <em>radhiyallahu’anhu</em>, bahwasanya Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda:<br />
<em>“Sekiranya ada seorang wanita penghuni surga, yang menampakkan dirinya ke bumi, niscaya ia akan menerangi kedua ufuknya serta memenuhinya dengan semerbak aroma. Kerudungnya benar-benar lebih baik daripada dunia dan seisinya.”</em> (Hr. Bukhari)<br />
Saudariku, sebagaimana kita ketahui…kecantikan paras wanita dunia seperti kita sangatlah minim jika dibandingkan kecantikan paras bidadari surga. Kita niscaya tidak akan mampu menandingi kecantikan mereka, namun apakah kita harus bersedih? Sama sekali tidak!<br />
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang beraneka rupa, sebagai tanda dari kehendak dan kekuasaanNya. Maka terimalah apapun yang telah Ia karuniakan bagimu, karena itu yang terbaik untukmu. Meskipun wajah kurang cantik dan fisik kurang menarik, janganlah takut untuk tidak dicinta. Berhiaslah dan percantiklah dirimu dengan hal – hal yang Allah halalkan, karena istri shalihah bukan hanya yang tekun beribadah saja, namun seorang istri yang bisa menyenangkan hati suami ketika suami memandangnya.<br />
Saudariku… Dan apakah kau lupa, fitrahmu sebagai wanita yang tentu suka akan perhiasan? Perhiasan terkait dengan makna keindahan, sehingga seorang perempuan shalihah senantiasa menjaga daya tarik dirinya bagi suaminya… karena wanita adalah salah satu sumber kebahagiaan lelaki. Apabila seorang istri senantiasa melanggengkan berhias dan mempercantik diri di hadapan suami, itu akan menjadi hal yang menambah keintiman hubungannya dengan suami. Sang Suami pun tentu akan semakin cinta pada istri pujaan hatinya <em>insyaallah</em>.<br />
Bagi saudari-saudariku pada umumnya serta saudara-saudaraku pada khususnya, enak dipandang dan menyenangkan hati bukan berarti harus cantik sekali bukan? Dan berhias pun tidak harus menggunakan aksesori yang terlalu mahal . Lalu bagaimana jika Allah menentukan engkau mendampingi lelaki yang secara materi belum mampu “<em>madep mantep</em>“? (baca: hanya cukup untuk membiayai kebutuhan pokok)<br />
Aku ingatkan engkau pada nasihat para pendahulu kita kepada putrinya…<br />
Abul Aswad berkata pada putrinya, <em>“Janganlah engkau cemburu, dan sebaik-baik perhiasan adalah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik – baik wewangian adalah menyempurnakan wudhu.”</em><br />
Ketika Al-Farafisah bin Al-Ahash membawa putrinya, Nailah, kepad Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan <em>radhiyallahu ‘anhu</em>, dan Beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, <em>“Wahai putriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini: bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.”</em><br />
<em> </em>Memang tubuhmupun dicipta tiada bercahaya dan harum mewangi laksana bidadari, namun engkau tentu bisa memakai wewangian yang disukai suamimu ketika engkau berada di kediamanmu bersamanya, dengan begitu penampilanmu tambah terlihat menawan dipandang mata.<br />
Bersambung <em>insyaallah</em><br />
***<br />
Artikel <a href="http://muslimah.or.id/">muslimah.or.id</a><br />
Penulis: Fatihdaya Khairani<br />
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits<br />
<strong>Maraji’:</strong><br />
<ol><li><em>Tamasya ke Surga</em>, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.</li>
<li><em>Panduan Lengkap Nikah (Dari “A” sampai “Z”)</em>, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdirrazzak, Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan ke-4, Bogor, 2006.</li>
<li><em>Bersanding Dengan Bidadari di Surga</em>, Dr.Muhamamd bin Ibrahim An-Naim, Daar An Naba’, Cetakan Pertama, Surakarta, 2007.</li>
<li><em>Mengintip Indahnya Surga</em>, Syaikh Mahir Ahmad Ash-Shufi, Aqwam, Cetakan Pertama, Solo, 2008.</li>
<li><em>Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu</em>, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul falah, Cetakan ke-11, Jakarta, 2003.</li>
<li><em>Majelis Bulan Ramadhan</em>, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Pustaka Imam Syafi’i, Cetakan ke-2, Jakarta, 2007.</li>
<li><em>Bidadari Surga Agar Engkau Lebih Mulia Darinya</em>, ‘Itisham Ahmad Sharraf, IBS, Cetakan ke-3, Bandung 2008.</li>
</ol>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-50144287246614448972011-05-03T21:42:00.000-07:002011-05-03T21:42:43.555-07:00Wanita Penghuni Surga Itu…<h1><br />
</h1><img alt="" class="lead_image" height="225" src="http://muslimah.or.id/img/bunga9.jpg" width="300" />Penulis: Ummu Rumman Siti Fatimah<br />
Muraja’ah: ustadz Abu Salman<br />
<br />
<br />
Dari Atha bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu Abbas berkata padaku,<br />
<em>“Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?”</em><br />
Aku menjawab, <em>“Ya”</em><br />
Ia berkata, <em>“Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.’ </em><br />
Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata,<em> ‘Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.’ </em><br />
Wanita itu menjawab, <em>‘Aku pilih bersabar.’ </em> Lalu ia melanjutkan perkataannya, <em>‘Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’</em><br />
Maka Nabi pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)<br />
<span id="more-337"></span><br />
Betapa rindunya hati ini kepada surga-Nya yang begitu indah. Yang luasnya seluas langit dan bumi. Betapa besarnya harapan ini untuk menjadi salah satu penghuni surga-Nya. Dan subhanallah! Ada seorang wanita yang berhasil meraih kedudukan mulia tersebut. Bahkan ia dipersaksikan sebagai salah seorang penghuni surga di kala nafasnya masih dihembuskan. Sedangkan jantungnya masih berdetak. Kakinya pun masih menapak di permukaan bumi.<br />
Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas kepada muridnya, Atha bin Abi Rabah, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”<br />
Ibnu Abbas berkata, “Wanita hitam itulah….dst”<br />
Wahai saudariku, tidakkah engkau iri dengan kedudukan mulia yang berhasil diraih wanita itu? Dan tidakkah engkau ingin tahu, apakah gerangan amal yang mengantarkannya menjadi seorang wanita penghuni surga?<br />
Apakah karena ia adalah wanita yang cantik jelita dan berparas elok? Ataukah karena ia wanita yang berkulit putih bak batu pualam?<br />
Tidak. Bahkan Ibnu Abbas menyebutnya sebagai wanita yang berkulit hitam.<br />
Wanita hitam itu, yang mungkin tidak ada harganya dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi ia memiliki kedudukan mulia menurut pandangan Allah dan Rasul-nya. Inilah bukti bahwa kecantikan fisik bukanlah tolak ukur kemuliaan seorang wanita. Kecuali kecantikan fisik yang digunakan dalam koridor yang syar’i. Yaitu yang hanya diperlihatkan kepada suaminya dan orang-orang yang halal baginya.<br />
Kecantikan iman yang terpancar dari hatinyalah yang mengantarkan seorang wanita ke kedudukan yang mulia. Dengan ketaqwaannya, keimanannya, keindahan akhlaqnya, amalan-amalan shalihnya, seorang wanita yang buruk rupa di mata manusia pun akan menjelma menjadi secantik bidadari surga.<br />
Bagaimanakah dengan wanita zaman sekarang yang sibuk memakai kosmetik ini-itu demi mendapatkan kulit yang putih tetapi enggan memutihkan hatinya? Mereka begitu khawatir akan segala hal yang bisa merusak kecantikkannya, tetapi tak khawatir bila iman dan hatinya yang bersih ternoda oleh noda-noda hitam kemaksiatan – semoga Allah Memberi mereka petunjuk -.<br />
Kecantikan fisik bukanlah segalanya. Betapa banyak kecantikan fisik yang justru mengantarkan pemiliknya pada kemudahan dalam bermaksiat. Maka saudariku, seperti apapun rupamu, seperti apapun fisikmu, janganlah engkau merasa rendah diri. Syukurilah sebagai nikmat Allah yang sangat berharga. Cantikkanlah imanmu. Cantikkanlah hati dan akhlakmu.<br />
Wahai saudariku, wanita hitam itu menderita penyakit ayan sehingga ia datang kepada Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan meminta beliau agar berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya. Seorang muslim boleh berusaha demi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Asalkan cara yang dilakukannya tidak melanggar syariat. Salah satunya adalah dengan doa. Baik doa yang dipanjatkan sendiri, maupun meminta didoakan orang shalih <strong>yang masih hidup</strong>. Dan dalam hal ini, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memiliki keistimewaan berupa doa-doanya yang dikabulkan oleh Allah.<br />
Wanita itu berkata, “Aku menderita penyakit ayan dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.”<br />
Saudariku, penyakit ayan bukanlah penyakit yang ringan. Terlebih penyakit itu diderita oleh seorang wanita. Betapa besar rasa malu yang sering ditanggung para penderita penyakit ayan karena banyak anggota masyarakat yang masih menganggap penyakit ini sebagai penyakit yang menjijikkan.<br />
Tapi, lihatlah perkataannya. Apakah engkau lihat satu kata saja yang menunjukkan bahwa ia benci terhadap takdir yang menimpanya? Apakah ia mengeluhkan betapa menderitanya ia? Betapa malunya ia karena menderita penyakit ayan? Tidak, bukan itu yang ia keluhkan. Justru ia mengeluhkan auratnya yang tersingkap saat penyakitnya kambuh.<br />
Subhanallah. Ia adalah seorang wanita yang sangat khawatir bila auratnya tersingkap. Ia tahu betul akan kewajiban seorang wanita menutup auratnya dan ia berusaha melaksanakannya meski dalam keadaan sakit. Inilah salah satu ciri wanita shalihah, calon penghuni surga. Yaitu mempunyai sifat malu dan senantiasa berusaha menjaga kehormatannya dengan menutup auratnya. Bagaimana dengan wanita zaman sekarang yang di saat sehat pun dengan rela hati membuka auratnya???<br />
Saudariku, dalam hadits di atas terdapat pula dalil atas keutamaan sabar. Dan kesabaran merupakan salah satu sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata<em>, “Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.”</em> Wanita itu menjawab, “Aku pilih bersabar.”<br />
Wanita itu lebih memilih bersabar walaupun harus menderita penyakit ayan agar bisa menjadi penghuni surga. Salah satu ciri wanita shalihah yang ditunjukkan oleh wanita itu lagi, bersabar menghadapi cobaan dengan kesabaran yang baik.<br />
Saudariku, terkadang seorang hamba tidak mampu mencapai kedudukan kedudukan mulia di sisi Allah dengan seluruh amalan perbuatannya. Maka, Allah akan terus memberikan cobaan kepada hamba tersebut dengan suatu hal yang tidak disukainya. Kemudian Allah Memberi kesabaran kepadanya untuk menghadapi cobaan tersebut. Sehingga, dengan kesabarannya dalam menghadapi cobaan, sang hamba mencapai kedudukan mulia yang sebelumnya ia tidak dapat mencapainya dengan amalannya.<br />
Sebagaimana sabda Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, <em>“Jika datang suatu kedudukan mulia dari Allah untuk seorang hamba yang mana ia belum mencapainya dengan amalannya, maka Allah akan memberinya musibah pada tubuhnya atau hartanya atau anaknya, lalu Allah akan menyabarkannya hingga mencapai kedudukan mulia yang datang kepadanya.”</em> (HR. Imam Ahmad. Dan hadits ini terdapat dalam silsilah Al-Haadits Ash-shahihah 2599)<br />
Maka, saat cobaan menimpa, berusahalah untuk bersabar. Kita berharap, dengan kesabaran kita dalam menghadapi cobaan Allah akan Mengampuni dosa-dosa kita dan mengangkat kita ke kedudukan mulia di sisi-Nya.<br />
Lalu wanita itu melanjutkan perkataannya, “Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> pun berdoa kepada Allah agar auratnya tidak tersingkap. Wanita itu tetap menderita ayan akan tetapi auratnya tidak tersingkap.<br />
Wahai saudariku, seorang wanita yang ingatannya sedang dalam keadaan tidak sadar, kemudian auratnya tak sengaja terbuka, maka tak ada dosa baginya. Karena hal ini di luar kemampuannya. Akan tetapi, lihatlah wanita tersebut. Bahkan di saat sakitnya, ia ingin auratnya tetap tertutup. Di saat ia sedang tak sadar disebabkan penyakitnya, ia ingin kehormatannya sebagai muslimah tetap terjaga. Bagaimana dengan wanita zaman sekarang yang secara sadar justru membuka auratnya dan sama sekali tak merasa malu bila ada lelaki yang melihatnya? Maka, masihkah tersisa kehormatannya sebagai seorang muslimah?<br />
Saudariku, semoga kita bisa belajar dan mengambil manfaat dari wanita penghuni surga tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.<br />
Marji’:<br />
<em>Syarah Riyadhush Shalihin</em> (terj). Jilid 1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin. Cetakan ke-3. Penerbit Darul Falah. 2007 M.aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-58376175515542807912011-05-03T21:22:00.000-07:002011-05-03T21:22:13.967-07:00Indahnya Cinta Karena Allahبسم الله الرحمن الرحيم <br />
Penulis: Ummul Hasan<br />
http://muslimah.or.id/aqidah/indahnya-cinta-karena-allah.html<br />
<em>“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”</em><br />
<span id="more-56"></span><br />
Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada saudara kita?<br />
Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil ‘Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di <em>Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah</em>).<br />
(<em>“Tidaklah seseorang beriman”</em> maksudnya adalah -pen). Para ulama berkata, <em>“yakni tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan seseorang kecuali dengan sifat ini.”</em><br />
Maksud dari kata <em>“sesuatu bagi saudaranya”</em> adalah berupa ketaatan, dan sesuatu yang halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i.<br />
<em>“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”</em><br />
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, <em>“Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”</em><br />
Abu Zinad berkata, <em>“Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”</em><br />
Diantara ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:<br />
<em>“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.”</em> (HR. Muslim)<br />
<em>“Saudara”</em> yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/ keturunan darah, tetapi <em>“saudara”</em> dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung disebut dengan Asy-Asyaqiiq ( الشَّّقِيْقُ). Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga beragama Islam sebagai <em>“Ukhti fillah”</em> (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti, kebaikan yang kita berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara.<br />
Jika ada yang bertanya, <em>“Bagaimana mungkin kita menerapkan hal ini sekarang? Sekarang kan jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah susah, bagaimana mungkin mau mengutamakan orang lain?”</em><br />
Wahai saudariku -semoga Allah senantiasa menetapkan hati kita diatas keimanan-, jadilah seorang mukmin yang kuat! Sesungguhnya mukmin yang kuat lebih dicintai Allah. Seberat apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang, ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat awal dakwah Islam oleh Rasulullah jauh lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan mereka pada kesulitan hidup yang hanya sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah terhadap mereka dalam Surat Al-Hasyr:<br />
<em>“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”</em> (QS. Al-Hasyr: 8-9)<br />
Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka <em>an laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah</em>. Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang telah mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudariku <em>fillah</em>, perhatikanlah dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap <em>itsar</em> (mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji kaum Anshar sebagai <em>Al-Muflihun</em> (orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Ta’aala memuji orang-orang yang dipelihara Allah Ta’aala dari kekikiran dirinya sebagai orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia kehendaki.<br />
Tapi, ingatlah wahai saudariku <em>fillah</em>, jangan sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita <em>“utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.”</em> Saudariku <em>fillah</em>, hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih <em>“Aku memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.”</em> Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita. Allah Ta’ala berfirman:<br />
<em>“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”</em> (QS. Al-Baqoroh: 148)<br />
Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan agama, bukan dalam urusan dunia. Banyak orang yang berdalih dengan ayat ini untuk menyibukkan diri mereka dengan melulu urusan dunia, sehingga untuk belajar tentang makna syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki waktu sama sekali. <em>Wal iyadzu billah</em>. Semoga Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang seperti itu.<br />
<strong>Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah</strong><br />
Mari kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga kita cintai bagi diri kita…<br />
<strong>Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu</strong><br />
<em>“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.”</em> (HR. Muslim)<br />
Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam <em>“Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh”</em> terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang yang mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah mengabulkan do’a tersebut. Saudariku <em>fillah</em>, bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslimah lain -baik yang kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita bertemu dengan muslimah yang tidak kita kenal namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa kerudung itu adalah ciri bahwa dia adalah seorang muslimah, ucapkanlah salam kepadanya. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama saudara muslimah. <em>Insya Allah…</em><br />
<strong>Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat</strong><br />
Dalam sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita. Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita, <em>“Tadi shubuh saya shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang jadi makmum. Teman saya yang jadi imam itu, membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu sunnah. Memangnya apa sih sunnah itu?”</em> Teman yang lain menjawab, <em>“Sunnah yang dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang disunnahkan untuk membaca Surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at.”</em> Lalu, teman yang bertanya tadi pun berkata, <em>“Ooo… begitu, saya kok baru tahu ya…” Subhanallah!</em> Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis ilmu”, ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan pada saudara sesama muslimah.<br />
<strong>Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis ‘Ilmu</strong><br />
Dari obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian berlanjut, <em>“Ngomong-ngomong, kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at itu sunnah?”</em> Temannya pun menjawab, <em>“Saya tahu itu dari kajian.”</em> <em>Alhamdulillah</em> bila ternyata temannya itu tertarik untuk mengikuti kajian, <em>“Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya menyenangkan juga ya ikut kajian.”</em> Temannya pun berkata, <em>“Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di kost.”</em><br />
<strong>Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan</strong><br />
Suatu saat ‘Umar <em>radhiyallahu ‘anhu</em> pernah bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa ‘Umar <em>radhiyallahu ‘anhu</em> memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya. Lalu ‘Umar <em>radhiyallahu ‘anhu</em> pun berkata yang maknanya <em>‘Seorang teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa perincian dalam masalah ini -pen).’</em> Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.<br />
<strong>Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka</strong><br />
Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta’ala.<br />
Saudariku <em>fillah</em>, berbaik sangkalah kepada saudari muslimah mu yang lain bila dia menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…<br />
Tidak ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala menanti kita. Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk <em>“ingin menang sendiri, ingin terkenal sendiri”</em>. Wahai saudariku <em>fillah</em>, manusia akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?<br />
<strong>Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !</strong><br />
Saudariku muslimah -semoga Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran-, ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang hal tersebut.<br />
<em>Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.”</em> (HR. Muslim; Shahih)<br />
<em>Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya, ‘Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’”</em><br />
Abu Muslim <em>radhiyallahu ‘anhu</em> melanjutkan, <em>“Kemudian aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, ‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.”</em> (HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)<br />
<em>Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.”</em> (HR. At-Tirmidzi; Shahih)<br />
<em>Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat</em> (artinya: “Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.” Do’a ini diucapkan Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang menyenangkan). Allah Ta’aala menyediakan bagi kita lahan pahala yang begitu banyak. Allah Ta’aala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Ternyata, begitu sederhana cara untuk mendapat pahala. Dan begitu mudahnya mengamalkan ajaran Islam bagi orang-orang yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu dengan Allah <em>Rabbul ‘alamin</em> sembari melihat segala perbuatan baik maupun buruk yang telah dia lakukan selama hidup di dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai karena Allah di Surga Firdaus <em>Al-A’laa</em> bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah…<br />
<strong>Maroji’:</strong><br />
<ol><li>Terjemah <em>Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah</em> karya Ibnu Daqiiqil ‘Ied</li>
<li>Terjemah <em>Shahih Hadits Qudsi</em> karya Syaikh Musthofa Al-’Adawi</li>
<li><em>Sunan Tirmidzi </em></li>
</ol>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-32571358932822584192011-05-02T19:47:00.001-07:002011-05-02T19:47:34.415-07:00Tidak Ada Pacaran Islami!<h2 class="firstheading"></h2><div style="text-align: justify;"><em>Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah</em></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menempelkan label Islami memang mudah. Namun ketika yang dilekati adalah hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, maka perkaranya menjadi berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em>.</div><div style="text-align: justify;">Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> berfirman dalam Al-Qur`an yang mulia:</div><div style="text-align: right;">ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ</div><div style="text-align: justify;"><em>“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, mudahan-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang benar.”</em> (<strong>Ar-Rum: 41</strong>)<span id="more-381"></span></div><div style="text-align: justify;">‘Ala`uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi <em>rahimahullahu</em> yang masyhur dengan sebutan Al-Khazin menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat di atas. <em>“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut”</em>, karena kesyirikan dan maksiat tampaklah kekurangan hujan (kemarau) dan sedikitnya tanaman yang tumbuh di daratan, di lembah, di padang sahara yang tandus dan di tanah yang kosong. Kurangnya hujan ini selain berpengaruh pada daratan juga membawa pengaruh pada lautan, di mana hasil laut berupa mutiara menjadi berkurang. (<strong>Tafsir Al-Khazin</strong>, 3/393)</div><div style="text-align: justify;">Kerusakan banyak terjadi di darat dan di laut, berupa rusak dan kurangnya penghidupan/pencaharian manusia, tertimpanya mereka dengan berbagai penyakit dan wabah serta perkara lainnya karena perbuatan-perbuatan rusak/jelek yang mereka lakukan. Semua itu ditimpakan kepada mereka agar mereka mengetahui bahwa Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> akan membalas apa yang mereka perbuat. Diharapkan dengan semua itu mereka mau bertaubat dari perbuatan jelek mereka. Demikian kata Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di <em>rahimahullahu</em> dalam <strong>Taisir Al-Karimir Rahman</strong>, hal. 634.</div><div style="text-align: justify;">Demikianlah, kerusakan dapat kita jumpai di mana-mana. Jangankan di kota besar, bahkan di pedesaan sekalipun. Belum lagi musibah yang terjadi hampir di seluruh negeri. Semua itu tidak lain penyebabnya karena dosa anak manusia.</div><div style="text-align: justify;">Abul ‘Aliyah <em>rahimahullahu</em> berkata, “Siapa yang bermaksiat kepada Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> di muka bumi maka sungguh ia telah membuat kerusakan di bumi. Karena kebaikan di bumi dan di langit diperoleh dengan ketaatan.” (<strong>Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim</strong>, 6/179)</div><div style="text-align: justify;">Pergaulan anak muda yang rusak merupakan salah satu penyebab kerusakan tersebut. Hubungan pra nikah dianggap sah. Pacaran boleh-boleh saja, bahkan dianggap suatu kewajaran dan tanda kewajaran anak muda.</div><div style="text-align: justify;">Di lembar ini, bukan hubungan mereka (baca: yang awam) yang ingin kita bicarakan, karena telah demikian jelas penyimpangan dan kerusakannya! Para pemuda pemudi yang katanya punya <em>ghirah</em> terhadap Islam, yang aktif dalam organisasi Islam, training-training pembinaan keimanan dan kegiatan-kegiatan Islami lah yang hendak kita tuju. Mungkin karena kedangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam atau terlalu mendominasinya hawa nafsu, mereka memunculkan istilah “pacaran Islami” dalam pergaulan mereka. Bagaimana pacaran Islami yang mereka maukan? Jelas karena diberi embel-embel Islam, mereka hendak berbeda dengan pacaran orang awam/jahil. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegang-pegangan, tidak ada kata-kata kotor dan keji. Masing-masing menjaga diri. Kalaupun saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang Islam, tentang dakwah, tentang umat, saling mengingatkan untuk beramal, berdzikir kepada Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em>, mengingatkan negeri akhirat, tentang surga dan neraka. Begitu katanya!</div><div style="text-align: justify;">Pacaran yang dilakukan hanyalah sebagai tahap penjajakan. Kalau cocok, diteruskan sampai ke jenjang pernikahan. Kalau tidak, diakhiri dengan cara baik-baik. Dulu penulis pernah mendengar ucapan salah seorang aktivis mereka dalam suatu kajian keIslaman untuk mengalihkan anak-anak muda Islam dari merayakan Valentine Day, “Daripada pemuda Islam, ikhwan sekalian, pacaran dengan wanita-wanita di luar, yang tidak berjilbab, tidak shalihah, lebih baik berpasangan dengan seorang muslimah yang shalihah.”</div><div style="text-align: justify;">Darimanakah mereka mendapatkan pembenaran atas perbuatan mereka? Benarkah mereka telah menjaga diri dari perkara yang haram atau malah mereka terjerembab ke dalamnya dengan sadar ataupun tidak? Ya, setanlah yang menghias-hiasi kebatilan perbuatan mereka sehingga tampak sebagai kebenaran. Mereka memang -katanya- tidak bersentuhan, tidak pegangan tangan, tidak ini dan tidak itu… Sehingga jauh dan jauh mereka dari keinginan berbuat nista (baca: zina), sebagaimana pacarannya para pemuda-pemudi awam/jahil yang pada akhirnya menyeret mereka untuk berzina dengan pasangannya. <em>Na’udzubillah</em>!!! Namun tahukah mereka (anak-anak muda yang katanya punya kecintaan kepada Islam ini) bahwa hati mereka tidaklah selamat, hati mereka telah terjerat dalam fitnah dan hati mereka telah berzina? Demikian pula mata mereka, telinga mereka?</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah <em>Shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> telah mengingatkan dalam sabdanya:</div><div style="text-align: right;">إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ</div><div style="text-align: justify;"><em>“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina1. Dia akan mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka, zinanya mata adalah dengan memandang (yang haram) dan zinanya lisan adalah dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.”</em> (<strong>HR. Al-Bukhari</strong> no. 6243 dan <strong>Muslim</strong> no. 2657 dari Abu Hurairah <em>radhiyallahu ‘anhu</em>)</div><div style="text-align: justify;">Dalam lafadz lain disebutkan:</div><div style="text-align: right;">كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ</div><div style="text-align: justify;"><em>“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina, dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina, dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina, dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara, hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.”</em> (<strong>HR. Muslim</strong> no. 2657)</div><div style="text-align: justify;">Al-Imam An-Nawawi <em>rahimahullahu</em> berkata: <strong>“Makna dari hadits di atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Maka di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram (untuk dimasuki karena bukan pasangan hidupnya yang sah, <em>pent</em>.). Dan di antara mereka ada yang zinanya secara <em>majazi</em> (kiasan) dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau untuk melihat zina, atau untuk menyentuh wanita non mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita non mahram dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara <em>majazi</em>. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya. Maknanya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya, dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram, sekalipun dekat dengannya.”</strong> (<strong>Syarhu Shahih Muslim</strong>, 16/206)</div><div style="text-align: justify;">Dengan pacaran yang mereka beri embel-embel Islam, adakah mereka dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram? Sementara memandang wanita <em>ajnabiyyah</em> (non mahram) atau laki-laki ajnabi termasuk perbuatan yang diharamkan.</div><div style="text-align: justify;">Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> memerintahkan:</div><div style="text-align: right;">قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ</div><div style="text-align: justify;"><em>“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.”</em> (<strong>An-Nur: 30-31</strong>)</div><div style="text-align: justify;">Tidakkah mereka tahu bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Sebagaimana dinyatakan Rasulullah <em>Shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam sabda beliau:</div><div style="text-align: right;">مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ</div><div style="text-align: justify;"><em>“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.”</em> (<strong>HR. Al-Bukhari</strong> no. 5096 dan <strong>Muslim</strong> no. 6880)</div><div style="text-align: justify;">Di samping itu, dengan pacaran “Islami” ala mereka, mereka tentu tidak akan lepas dari yang namanya <em>khalwat</em> (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan <em>ikhtilath</em> (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya <em>hijab</em>/tabir penghalang).</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah <em>Shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> pernah bersabda:</div><div style="text-align: right;">لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ</div><div style="text-align: justify;"><em>“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.”</em> (<strong>HR. Al-Bukhari</strong> no. 1862 dan <strong>Muslim</strong> no. 3259)</div><div style="text-align: justify;">Al-Qadhi Iyadh <em>rahimahullahu</em> berkata, <strong>“Wanita adalah fitnah, sehingga laki-laki <em>ajnabi</em> dilarang bersepi-sepi dengannya. Karena jiwa-jiwa manusia diciptakan punya kecenderungan/syahwat terhadap wanita, dan setan akan menguasai mereka dengan perantaraan para wanita.”</strong></div><div style="text-align: justify;">Beliau juga mengatakan bahwa wanita adalah aurat yang sangat urgen untuk dijaga dan dipelihara. Dan mahramnya sebagai orang yang memiliki kecemburuan terhadapnyalah yang akan melindungi dan menjaganya. (<strong>Al-Ikmal</strong>, 4/448)</div><div style="text-align: justify;">Al-Imam An-Nawawi <em>rahimahullahu</em> menyatakan, <strong>“Adapun bila seorang laki-laki <em>ajnabi</em> berdua-duaan dengan wanita <em>ajnabiyah</em> tanpa ada orang ketiga bersama keduanya, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama. Demikian pula bila bersama keduanya hanya ada seseorang yang biasanya orang tidak sungkan/tidak merasa malu berbuat sesuatu di hadapannya karena usianya yang masih kecil, seperti anak laki-laki yang baru berumur dua atau tiga tahun dan yang semisalnya. Karena keberadaan orang seperti ini sama saja seperti tidak adanya.”</strong> (<strong>Al-Minhaj</strong>, 9/113)</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah <em>Shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> juga bersabda:</div><div style="text-align: right;">لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ</div><div style="text-align: justify;"><strong><em>“Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita melainkan yang ketiganya adalah setan.”</em></strong> (<strong>HR. At-Tirmidzi</strong> no. 1171, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani <em>rahimahullahu</em> dalam <strong>Shahih Sunan At-Tirmidzi</strong>)</div><div style="text-align: justify;">Karena bahayanya fitnah wanita dan bersepi-sepi dengan wanita, Rasulullah <em>Shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> sampai memperingatkan:</div><div style="text-align: right;">إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ</div><div style="text-align: justify;"><em>“Hati-hati kalian masuk ke tempat para wanita!” Berkatalah seseorang dari kalangan Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat anda dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.”</em> (<strong>HR. Al-Bukhari</strong> no. 5232 dan <strong>Muslim</strong> no. 5638)</div><div style="text-align: justify;">Ipar di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-lakinya. Makna <em>“Ipar adalah maut”</em>, kata Al-Imam An-Nawawi <em>rahimahullahu</em>, bahwa kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya. Kejelekan bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena biasanya ia bisa masuk dengan leluasa menemui wanita yang merupakan istri saudaranya atau istri keponakannya, serta memungkinkan baginya berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan hal itu laki-laki <em>ajnabi</em> yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita. (<strong>Al-Minhaj</strong>, 14/ 378)</div><div style="text-align: justify;">Ketika Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin <em>rahimahullahu</em> ditanya tentang hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan yang terjalin sebelum <em>zawaj</em>, beliau menjawab, “Bila yang dimaukan penanya, sebelum <em>zawaj</em> adalah sebelum <em>dukhul</em> (jima’) setelah dilangsungkannya akad nikah, maka tidak ada dosa tentunya. Karena dengan adanya akad berarti si wanita telah menjadi istrinya walaupun belum <em>dukhul</em>. Namun bila yang dimaksud sebelum <em>zawaj</em> adalah sebelum akad nikah, baru pelamaran atau belum sama sekali, maka yang ini haram. Tidak boleh dilakukan. Tidak diperkenankan seorang lelaki bernikmat-nikmat dengan seorang wanita <em>ajnabiyah</em>, baik dalam ucapan, pandangan, maupun <em>khalwat</em>.” (<strong>Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah</strong>, 2/600)</div><div style="text-align: justify;"><strong>Seorang laki-laki yang telah resmi melamar seorang wanita sekalipun, ia tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterimanya pinangannya tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat, bebas telepon, bebas sms, bebas <em>chatting</em>, ngobrol apa saja. Karena hubungan keduanya belum resmi, si wanita masih tetap <em>ajnabiyah</em> baginya. Lalu apatah lagi orang yang baru sekadar pacaran belum ada peminangan, walaupun diembel-embeli kata Islami?</strong></div><div style="text-align: justify;">Ada seorang lelaki meminang seorang wanita. Di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita, namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin <em>rahimahullahu</em> dimintai fatwa tentang hal ini, beliau menjawab, <strong>“Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena perasaan si lelaki bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah sesuatu yang haram. Dan sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, haram pula hukumnya.”</strong> (<strong>Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin</strong>, 2/748)</div><div style="text-align: justify;">Permasalahan senada ditanya kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan <em>hafizhahullah</em>, hanya saja pembicaraan si lelaki dengan si wanita yang telah dipinangnya tidak secara langsung namun lewat telepon. Beliau pun memberikan jawaban, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita, maka itu lebih baik dan lebih jauh dari keraguan/fitnah.</div><div style="text-align: justify;">Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung lamaran di antara mereka, namun hanya bertujuan untuk saling mengenal -sebagaimana yang mereka istilahkan- maka ini mungkar, haram. Bisa mengarah kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji.</div><div style="text-align: justify;">Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> berfirman:</div><div style="text-align: right;">فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا</div><div style="text-align: justify;"><em>“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.”</em> (<strong>Al-Ahzab: 32</strong>)</div><div style="text-align: justify;">Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki <em>ajnabi</em> kecuali bila ada kebutuhan, dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).</div><div style="text-align: justify;">Ulama telah menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram melakukan talbiyah tanpa mengeraskan suaranya. Dan di dalam hadits disebutkan:</div><div style="text-align: right;">إِذَا أَتَاكُمْ شَيْءٌ فِي صَلاَتِكُمْ، فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتَصْفِقِ النِّسَاءُ</div><div style="text-align: justify;"><em>“Apabila datang pada kalian sesuatu dalam shalat kalian, maka laki-laki hendaklah bertasbih dan wanita hendaknya memukul tangannya.”</em></div><div style="text-align: justify;"><strong>Hadits di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak semestinya memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, kecuali dalam keadaan-keadaan yang dibutuhkan sehingga ia terpaksa berbicara dengan laki-laki dengan disertai rasa malu. <em>Wallahu a’lam</em>.”</strong> (<strong>Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan</strong>, 3/163,164)</div><div style="text-align: justify;"><strong>Kita baru menyinggung pembicaraan via telepon ataupun secara langsung. Lalu bagaimana bila pemuda-pemudi berhubungan lewat surat?</strong></div><div style="text-align: justify;">Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman dalam <strong>Fatawa Al-Mar`ah</strong> (hal. 58) ditanya, “Bila seorang lelaki melakukan surat-menyurat dengan seorang wanita <em>ajnabiyah</em>, hingga pada akhirnya keduanya saling jatuh cinta, apakah perbuatan ini teranggap haram?” Beliau menjawab, “Perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan, karena dapat membangkitkan syahwat di antara dua insan. Dan syahwat tersebut mendorong keduanya untuk saling bertemu dan terus berhubungan. Kebanyakan surat-menyurat seperti itu menimbulkan fitnah dan menumbuhkan kecintaan kepada zina di dalam hati. Di mana hal ini termasuk perkara yang menjatuhkan seorang hamba ke dalam perbuatan keji, atau menjadi sebab yang mengantarkan kepada perbuatan nista. Karenanya, kami memberikan nasihat kepada orang yang ingin memperbaiki dan menjaga jiwanya agar tidak melakukan surat-menyurat yang seperti itu dan menjaga diri dari pembicaraan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Semuanya dalam rangka menjaga agama dan kehormatannya. Dan Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em>-lah yang memberi taufik.”</div><div style="text-align: justify;">Bila ada yang berdalih bahwa isi surat-menyurat mereka jauh dari kata-kata keji, tidak ada kata-kata gombal dan rayuan cinta di dalamnya, apatah lagi dalam surat menyurat tersebut dikutip ayat-ayat Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em>, maka dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin <em>rahimahullahu</em>, “Tidak boleh bagi seorang lelaki, siapapun dia, untuk surat-menyurat dengan wanita <em>ajnabiyah</em>. Karena hal itu akan menimbulkan fitnah. Terkadang orang yang melakukan perbuatan demikian menyangka bahwa tidak ada fitnah yang timbul. Akan tetapi setan terus menerus menyertainya, hingga membuatnya terpikat dengan si wanita dan si wanita terpikat dengannya.”</div><div style="text-align: justify;">Asy-Syaikh <em>rahimahullahu</em> melanjutkan, <strong>“Dalam surat-menyurat antara pemuda dan pemudi ada fitnah dan bahaya yang besar, sehingga wajib untuk menjauh dari perbuatan tersebut, walaupun penanya mengatakan dalam surat menyurat tersebut tidak ada kata-kata keji dan rayuan cinta.”</strong> (<strong>Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin</strong>, 2/898)</div><div style="text-align: justify;">Demikianlah… Lalu, masihkah ada orang-orang yang memakai label Islam untuk membenarkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran?</div><div style="text-align: justify;"><em>Wallahul musta’an</em>.</div><div style="text-align: justify;"><strong>Footnote:</strong></div><div style="text-align: justify;">1 Yakni yang namanya zina itu tidak hanya diistilahkan dengan apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (<strong>Fathul Bari</strong>, 11/28)</div><div style="text-align: right;"><em>(Sumber: Majalah Asy Syariah, Vol. IV/No. 39/1429H/2008, kategori: Niswah, hal. 83-87. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=638)</em></div><center> </center>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-12939147313839704572011-05-02T19:33:00.000-07:002011-05-02T19:33:40.590-07:00Siapakah Suamimu di Surga?<h2 class="firstheading"></h2>Oleh: Ust. Abu Muawiah.<br />
Saudariku muslimah, tahukah kamu siapa suamimu di surga kelak?(1) Artikel di bawah ini akan menjawab pertanyaan anti. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah sangat akurat), yang bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:<br />
Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:<br />
1. Dia meninggal sebelum menikah.<br />
2. Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.<br />
3. Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah.<br />
4. Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).<br />
5. Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.<br />
6. Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.<span id="more-2613"></span><br />
Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:<br />
ý Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan keadaan wanita di dunia: Di antara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga.<br />
Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:<br />
مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ<br />
“Tidak ada seorangpun bujangan dalam surga”.<br />
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman firman Allah -Ta’ala-:<br />
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ<br />
“Di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)<br />
Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:<br />
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ<br />
“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)<br />
Seorang wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud saya adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.<br />
Dan beliau juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.<br />
ý Adapun wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi istri dari suaminya di dunia.<br />
ý Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.<br />
Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:<br />
اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا<br />
“Wanita itu milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)<br />
Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:<br />
إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ<br />
“Jika kamu mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga”. (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )<br />
Faidah:<br />
Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:<br />
وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا<br />
“Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.<br />
Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?<br />
Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (2). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:<br />
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ<br />
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 48)<br />
Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”. Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy.<br />
___________<br />
(1) Karenanya sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.<br />
(2) Maksudnya, suaminya sama tapi sifatnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika di dunia.<br />
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1390aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-30163999459038029542011-04-08T19:43:00.000-07:002011-04-08T19:43:09.892-07:00Jilbab Wanita Muslimah<div id="container"> <div class="main"> <div align="justify">Dewasa ini kita melihat banyak kaum muslimah yang tidak berjilbab dan apabila ada yang berjilbab bukan dengan tujuan untuk menutup aurat-aurat mereka akan tetapi dengan tujuan mengikuti mode, agar lebih anggun dan alasan lainnya. Sehingga mereka walaupun berjilbab tetapi masih memperlihatkan bentuk tubuh mereka dan mereka masih ber-tasyabbuh kepada orang kafir. <strong>Tidak hanya itu mereka menghina wanita muslimah yang mengenakan jilbab yang syar’i, dengan mengatakan itu pakaian orang kolot, pakaian orang radikal, dan mereka mengatakan jilbab (yang syar’i) adalah budaya arab yang sudah ketinggalan zaman, serta banyak lagi ejekan-ejekan yang tidak pantas keluar dari mulut seorang muslim. </strong>Hal ini karena kejahilan dan ketidak pedulian mereka untuk mencari ilmu tentang pakaian wanita muslimah yang syar’i. Untuk itu pada edisi ini kami berusaha berbagi ilmu mengenai Jilbab Wanita Muslimah yang sesuai dengan tuntunan syari’at, artikel ini bukan saja khusus untuk kaum hawa, namun para ikhwan, bapak, kakek juga berkewajiban untuk mempelajarinya dan memahami serta mengamalkannya dengan cara mengajak saudari-saudari kita yang berada dibawah tanggung jawabnya dan sekitarnya.<span id="more-10"></span></div><div align="justify"><strong>MELIPUTI SELURUH BADAN SELAIN YANG DIKECUALIKAN</strong></div>Syarat ini terdapat dalam Firman Allah <em>Subhanahu Wa Ta’ala </em>dalam surat An-Nuur ayat 31, yang artinya: <em>“Katakanlah kepada wanita yang beriman.Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (keponakan) atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita…”</em><br />
Juga Firman Allah <em>Subhanahu Wa Ta’ala </em>dalam surat Al-Ahzab ayat 59, yang artinya: <em>“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mumin: “Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”</em><br />
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya: <em>“Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi (yang bukan mahram/halal nikah), kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.” Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”</em><br />
Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah <em>shalallohu ‘alahi wa sallam </em>sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya : <em>“Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Semoga Allah memberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”</em><br />
<strong>BUKAN SEBAGAI PERHIASAN</strong><br />
Ini berdasarkan Firman Allah <em>Ta’ala </em>dalam surat An-Nuur ayat 31, yang artinya:<em> “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.” </em>Secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya.<br />
Hal ini dikuatkan oleh Firman Allah <em>Subhanahu Wa Ta’ala </em>dalam surat Al-Ahzab ayat 33, yang artinya: <em>“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah.”</em><br />
Juga berdasarkan sabda Nabi <em>shalallohu ‘alahi wa sallam</em>: <em>“Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah kaum muslimin dan mendurhakai imamnya (penguasa) serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).</em><br />
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).<br />
<strong>KAINNYA TIDAK TRANSPARAN</strong><br />
Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali tidak trasparan. Jika transparan, maka hanya akan mengundang fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : <em>“Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” </em>(At-Thabrani Al-Mujamusshaghir : 232).<br />
Di dalam hadits lain terdapat tambahan yaitu : <em>“Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian.” </em>(HR.Muslim).<br />
Ibnu Abdil Barr berkata : <em>“Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dans tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.” </em>( Tanwirul Hawalik III/103).<br />
Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsanya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qibtiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata : <em>“Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak melihatnya sebagai pakaian yang tipis !. Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak tipis,namun ia menggambarkan lekuk tubuh.” </em>(H.R. Al-Baihaqi II/234-235).<br />
<strong>HARUS LONGGAR (TIDAK KETAT) SEHINGGA TIDAK DAPAT MENGGAMBARKAN SESUATU DARI TUBUHNYA</strong><br />
Usamah bin Zaid pernah berkata: Rasulullah <em>shalallohu ‘alahi wa sallam </em>pernah memberiku baju Qibtiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku: <em>“Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qibtiyah ?” Aku menjawab : Aku pakaikan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda : “Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Qibtiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” </em>(Ad-Dhiya Al-Maqdisi : Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441).<br />
Aisyah pernah berkata: <em>” Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya (Ibnu Sad VIII/71). Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya : Baju, khimar dan milhafah (mantel)” </em>(Ibnu Abi Syaibah: Al-Mushannaf II:26/1).<br />
<strong>TIDAK DIBERI WEWANGIAN ATAU PARFUM</strong><br />
Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata: Rasulullah <em>shalallohu ‘alahi wa sallam</em> bersabda: <em>“Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” </em>(Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).<br />
Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda <em>shalallohu ‘alahi wa sallam</em>: <em>“Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.” </em>(Muslim dan Abu Awanah).<br />
Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah: Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian tercium olehnya. Maka Abu Hurairah berkata : Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : <em>“Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” </em>(Al-Baihaqi III/133).<br />
Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata : <em>“Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki” </em>(Al-Munawi : Fidhul Qadhir).<br />
Syaikh Albani mengatakan: Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Berkata Al-Haitsami dalam AZ-Zawajir II/37 <em>“Bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dan berhias adalah termasuk perbuatan dosa besar meskipun suaminya mengizinkan”.</em><br />
<strong>TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN LAKI-LAKI</strong><br />
Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Dari Abu Hurairah berkata: <em>“Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria” </em>(Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).<br />
Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah <em>shalallohu ‘alahi wa sallam </em>bersabda: <em>“Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” </em>(Ahmad II/199-200)<br />
Dari Ibnu Abbas yang berkata: Nabi <em>shalallohu ‘alahi wa sallam </em>melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda : <em>“Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.” Dalam lafadz lain : “Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” </em>(Al-Bukhari X/273-274).<br />
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah <em>shalallohu ‘alahi wa sallam </em>bersabda: <em>“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” </em>( Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi).<br />
Dalam hadits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya. Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.<br />
<strong>TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN WANITA-WANITA KAFIR</strong><br />
Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya Firman Allah <em>Subhanahu Wa Ta’ala </em>surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya : <em>“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”</em><br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Firman Allah <em>Subhanahu Wa Ta’ala </em>dalam surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya: <em>“Janganlah mereka seperti…” </em>merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan (Al-Iqtidha… hal. 43).<br />
Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini (IV/310): Karena itu Allah <em>Subhanahu Wa Ta’ala </em>melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang. Allah berfirman : Artinya: <em>“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad).“Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih” </em>(Q.S. Al-baqarah:104).<br />
Lebih lanjut Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (I/148): Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek. Jika mereka ingin mengatakan <em>“Dengarlah kami” </em>mereka mengatakan<em> “Raaina” </em>sebagai plesetan kata <em>“ruunah” </em>(artinya ketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46. Allah juga telah memberi tahukan dalam surat Al-Mujadalah ayat 22, bahwa tidak ada seorang mu’min yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mu’min, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.<br />
<strong>BUKAN PAKAIAN SYUHRAH (UNTUK MENCARI POPULARITAS)</strong><br />
Berdasarkan hadits Ibnu Umar, Rasulullah <em>shalallohu ‘alahi wa sallam </em>bersabda: <em>“Barangsiapa menge nakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” </em>(Abu Daud II/172).<br />
Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal, yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya (Asy-Syaukani: Nailul Authar II/94). Ibnul Atsir berkata : <em>“Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu. Maksud dari Libas Syuhrah adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat pandangannya mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.” </em>wallahu ‘alam.<br />
(Dikutip dari: Kitab Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah, Asy-Syaikh Al-Albani)</div></div>aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-15002747642705184932011-04-07T20:23:00.001-07:002011-04-07T20:23:46.730-07:00Apa Makna Wanita Diciptakan dari Tulang Rusuk yang Paling Bengkok?Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di masing masing kitab Shahih mereka, dari Nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em>. Dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em> bersabda,<br />
<em><br />
“Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka sikapilah para wanita dengan baik.” </em>(HR al-Bukhari Kitab an-Nikah no 5186)<br />
Ini adalah perintah untuk para suami, para ayah, saudara saudara laki laki dan lainnya untuk menghendaki kebaikan untuk kaum wanita, berbuat baik terhadap mereka , tidak mendzalimi mereka dan senantiasa memberikan ha-hak mereka serta mengarahkan mereka kepada kebaikan. Ini yang diwajibkan atas semua orang berdasarkan sabda Nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em>,<em> “Berbuat baiklah kepada wanita.” </em><br />
Hal ini jangan sampai terhalangi oleh perilaku mereka yang adakalanya bersikap buruk terhadap suaminya dan kerabatnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan karena para wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, sebagaimana dikatakan oleh Nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em> bahwa tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.<br />
Sebagaimana diketahui, bahwa yang paling atas itu adalah yang setelah pangkal rusuk, itulah tulang rusuk yang paling bengkok, itu jelas. Maknanya, pasti dalam kenyataannya ada kebengkokkan dan kekurangan. Karena itulah disebutkan dalam hadits lain dalam ash-Shahihain.<br />
<em><br />
“Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bias menghilangkan akal laki laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita).” </em>(HR. Al Bukhari no 304 dan Muslim no. 80)<br />
Hadits Nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em> yang disebutkan dalam ash shahihain dari hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Makna “kurang akal” dalam sabda Nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em> adalah bahwa persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang laki laki. Sedangkan makna “kurang agama” dalam sabda beliau adalah bahwa wanita itu kadang selama beberapa hari dan beberapa malam tidak shalat, yaitu ketika sedang haidh dan nifas. Kekurangan ini merupakan ketetapan Allah pada kaum wanita sehingga wanita tidak berdosa dalam hal ini.<br />
Maka hendaknya wanita mengakui hal ini sesuai dengan petunjuk nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em> walaupun ia berilmu dan bertaqwa, karena nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em> tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu, tapi berdasar wahyu yang Allah berikan kepadanya, lalu beliau sampaikan kepada ummatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,<br />
<em><br />
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” </em>(Qs. An-Najm:4)<br />
Sumber:<br />
Majmu Fatawa wa Maqadat Mutanawwi’ah juz 5 hall 300-301, Syaikh Ibn Baaz Fatwa fatwa Terkini Jilid 1 Bab Perlakuan Terhadap Istri penerbit Darul Haqaisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4445543516901386703.post-44050288954639464802011-04-07T20:21:00.001-07:002011-04-07T20:21:46.792-07:00Fitnah Wanita Menurut Said Bin Al Musayyib<strong>Siapakah Said Bin Al Musayyib</strong><br />
Beliau adalah pembesar para tabi’in yang sezaman dengan para sahabat senior yaitu Umar bin Al-Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah <em>ridhwanullah ‘alayhim ajma’in</em>. Beliau juga perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah <em>radhiyallahu ‘anhu</em> sehingga beliau pun menikahkan Said dengan putrinya.<br />
Beliau adalah seorang yang tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah selama 40 atau 50 tahun, juga tidak pernah melihat punggung orang orang yang sedang shalat karena dia selalu di barisan terdepan. Beliau juga seorang yang tegas dan tidak mau tunduk dengan kemauan para penguasa. Namun beliau tetaplah seorang yang lembut dan mengedepankan rasa persaudaraan dalam pergaulan terutama dengan orang orang yang shalih dan bertaqwa. Banyak sanjungan dan pujian terlontar kepada beliau mengenai wawasan, kehormatan dan kemuliaan beliau.<br />
Belia menolak pinangan khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk dinikahkan kepada putranya, Al-Walid untuk putrinya dan memilih menikahkan putrinya kepada Katsir bin Abdul Muthallib bin Abi Wada’ah hanya dengan dua atau tiga dirham. Karena penolakannya ini beliau dihukum 60 kali cambuk, disiramkan air dingin ke tubuhnya saat muslim dingin, dan dipakaikan kepadanya jubah yang terbuat dari kain sutera.<br />
<strong>Ketakutan Beliau Akan Fitnah Wanita</strong><br />
Dari Ali bin Zaid dari Said bi Al-Musayyib, dia berkata<em>, “Tidak ada yang lebih mudah bagi setan untuk menggoda kecuali melalui perempuan.”</em> Kemudian, Said berkata <em>“Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada perempuan.”</em> Padahal saat itu umurnya sudah lanjut, tua renta dan salah satu penglihatannya telah buta sedangkan yang tersisa pun sudah kabur penglihatannya karena rabun.<br />
Dari Imran bin Abdul Malik, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah merasa takut kepada sesuatu pun seperti ketakutanku pada wanita.” Orang orang yang mendengarnya selanjutnya mengatakan, “Sesungguhnya orang seperti Anda tidak pernah menginginkan wanita (untuk dinikahi) dan tidak ada wanita yang mau mengawini anda,” Dia berkata, “Memang itulah yang aku katakan kepada kalian.”<br />
Nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em> bersabda:<br />
<em>“Tidaklah aku tinggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki laki (melainkan fitnah yang datang dari) wanita.”</em> Dikeluarkan oleh Bukhari (9/5096); Muslim (4/2097), Ibnu Majah (3998) dan At-Tirmidzi (2780) dan dia berkata: “Hadits Hasan Shahih”<br />
Demikianlah Said bin Al Musayyib. Bagaimana dengan para pemuda saat ini yang dikaruniai penglihatan sempurna, dan menemukan wanita wanita yang bahkan belum pernah ada di zaman Nabi <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em> bebas berkeliaran di jalan jalan, sedangkan setan <em>la’natullah ‘alayh </em>menghiasi pandangan mereka terhadap wanita wanita tersebut?..<br />
Hendaklah mereka takut akan apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah <em>shalallahu ‘alayhi wasallam</em>. Hendaknya mereka khawatir diri mereka akan terjatuh kepada fitnah terbesar bagi kaum adam umat ini. Fitnah Wanita.aisyahazzahrahttp://www.blogger.com/profile/17717201823346372057noreply@blogger.com0